Karena Ukuran Kita Tak Sama
"seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya
memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti
memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan
kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi"
Seorang lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah padang. Siang itu, mentari seakan didekatkan hingga sejengkal. Pasir membara, ranting-ranting menyala dalam tiupan angin yang keras dan panas. Dan lelaki itu masih berlari-lari. Lelaki itu menutupi wajah dari pasir yang beterbangan dengan surbannya, mengejar dan menggiring seekor anak unta.
Di padang gembalaan tak jauh darinya, berdiri sebuah dangau pribadi berjendela. Sang pemilik, ’Utsman ibn ‘Affan, sedang beristirahat sambil melantun Al Quran, dengan menyanding air sejuk dan buah-buahan. Ketika melihat lelaki nan berlari-lari itu dan mengenalnya,
“Masya Allah” ’Utsman berseru, ”Bukankah itu Amirul Mukminin?!”
Ya, lelaki tinggi besar itu adalah ‘Umar ibn Al Khaththab.
”Ya Amirul Mukminin!” teriak ‘Utsman sekuat tenaga dari pintu dangaunya,
“Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini? Masuklah kemari!”
Dinding dangau di samping Utsman berderak keras diterpa angin yang deras.
”Seekor unta zakat terpisah dari kawanannya. Aku takut Allah akan menanyakannya padaku. Aku akan menangkapnya. Masuklah hai ‘Utsman!” ’Umar berteriak dari kejauhan. Suaranya bersiponggang menggema memenuhi lembah dan bukit di sekalian padang.
“Masuklah kemari!” seru ‘Utsman,“Akan kusuruh pembantuku menangkapnya untukmu!”.
”Tidak!”, balas ‘Umar, “Masuklah ‘Utsman! Masuklah!”
“Demi Allah, hai Amirul Mukminin, kemarilah, Insya Allah unta itu akan kita dapatkan kembali.“
“Tidak, ini tanggung jawabku. Masuklah engkau hai ‘Utsman, anginnya makin keras, badai pasirnya mengganas!”
Angin makin kencang membawa butiran pasir membara. ‘Utsman pun masuk dan menutup pintu dangaunya. Dia bersandar dibaliknya & bergumam,
”Demi Allah, benarlah Dia & RasulNya. Engkau memang bagai Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.”
‘Umar memang bukan ‘Utsman. Pun juga sebaliknya. Mereka berbeda, dan masing-masing menjadi unik dengan watak khas yang dimiliki.
‘Umar, jagoan yang biasa bergulat di Ukazh, tumbuh di tengah bani Makhzum nan keras & bani Adi nan jantan, kini memimpin kaum mukminin. Sifat-sifat itu –keras, jantan, tegas, tanggungjawab & ringan tangan turun gelanggang – dibawa ‘Umar, menjadi ciri khas kepemimpinannya.
‘Utsman, lelaki pemalu, anak tersayang kabilahnya, datang dari keluarga bani ‘Umayyah yang kaya raya dan terbiasa hidup nyaman sentausa. ’Umar tahu itu. Maka tak dimintanya ‘Utsman ikut turun ke sengatan mentari bersamanya mengejar unta zakat yang melarikan diri. Tidak. Itu bukan kebiasaan ‘Utsman. Rasa malulah yang menjadi akhlaq cantiknya. Kehalusan budi perhiasannya. Kedermawanan yang jadi jiwanya. Andai ‘Utsman jadi menyuruh sahayanya mengejar unta zakat itu; sang budak pasti dibebaskan karena Allah & dibekalinya bertimbun dinar.
Itulah ‘Umar. Dan inilah ‘Utsman. Mereka berbeda.
Bagaimanapun, Anas ibn Malik bersaksi bahwa ‘Utsman berusaha keras meneladani sebagian perilaku mulia ‘Umar sejauh jangkauan dirinya. Hidup sederhana ketika menjabat sebagai Khalifah misalnya.
“Suatu hari aku melihat ‘Utsman berkhutbah di mimbar Nabi ShallaLlaahu ‘Alaihi wa Sallam di Masjid Nabawi,” kata Anas . “Aku menghitung tambalan di surban dan jubah ‘Utsman”, lanjut Anas, “Dan kutemukan tak kurang dari tiga puluh dua jahitan.”
Dalam Dekapan ukhuwah, kita punya ukuran-ukuran yang tak serupa. Kita memiliki latar belakang yang berlainan. Maka tindak utama yang harus kita punya adalah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau baju milik tokoh lain lagi.
Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah dirinya. Tak ada yang berhak memaksa sesamanya untuk menjadi sesiapa yang ada dalam angannya.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus pada saudara yang sedang diberi amanah memimpin umat. Tetapi jangan membebani dengan cara membandingkan dia terus-menerus kepada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat pada saudara yang tengah diamanahi kekayaan. Tetapi jangan membebaninya dengan cara menyebut-nyebut selalu kisah berinfaqnya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat saudara yang dianugerahi ilmu. Tapi jangan membuatnya merasa berat dengan menuntutnya agar menjadi Zaid ibn Tsabit yang menguasai bahasa Ibrani dalam empat belas hari.
Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk menjadi orang lain di zaman yang sama, apalagi menggugatnya agar tepat seperti tokoh lain pada masa yang berbeda. ‘Ali ibn Abi Thalib yang pernah diperlakukan begitu, punya jawaban yang telak dan lucu.
“Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan ‘Umar” kata lelaki kepada ‘Ali, “Keadaannya begitu tentram, damai dan penuh berkah. Mengapa di masa kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan rusak?”
“Sebab,” kata ‘Ali sambil tersenyum, “Pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar, rakyatnya seperti aku.
Adapun di zamanku ini, rakyatnya seperti kamu!”
Dalam dekapan ukhuwah, segala kecemerlangan generasi Salaf memang ada untuk kita teladani. Tetapi caranya bukan menuntut orang lain berperilaku seperti halnya Abu Bakar, ‘Umar, “Utsman atau ‘Ali.
Sebagaimana Nabi tidak meminta Sa’d ibn Abi Waqqash melakukan peran Abu Bakar, fahamilah dalam-dalam tiap pribadi. Selebihnya jadikanlah diri kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka. Tuntutlah diri untuk berperilaku sebagaimana para salafush shalih dan sesudah itu tak perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak mengikuti.
Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk juga menjadi teladan, akan kehilangan makna keteladanan itu sendiri. Maka jadilah kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah.
Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati memiliki kecenderungannya, masing-masing badan memiliki pakaiannya dan masing-masing kaki mempunyai sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi akan membawa damai. Dalam damai pula keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang masa.
Selanjutnya, kita harus belajar untuk menerima bahwa sudut pandang orang lain adalah juga sudut pandang yang absah. Sebagai sesama mukmin, perbedaan dalam hal-hal bukan asasi
tak lagi terpisah sebagai “haq” dan “bathil”. Istilah yang tepat adalah “shawab” dan “khatha”.
Tempaan pengalaman yang tak serupa akan membuatnya lebih berlainan lagi antara satu dengan yang lain.
Seyakin-yakinnya kita dengan apa yang kita pahami, itu tidak seharusnya membuat kita terbutakan dari kebenaran yang lebih bercahaya.
Imam Asy Syafi’i pernah menyatakan hal ini dengan indah. “Pendapatku ini benar,” ujar beliau,”Tetapi mungkin mengandung kesalahan. Adapun pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung kebenaran.”
sepenuh cinta,
Salim A. Fillah
Belajar Tawakal Kepada Putri 10 Tahun
Hatim Al Ashom, ulama besar muslimin, teladan kesederhanaan dan tawakal.
Hatim suatu hari berkata kepada istri dan 9 putrinya bahwa ia akan pergi utk menuntut ilmu. Istri dan putri putrinya keberatan. Krn siapa yg akan memberi mereka makan.
Salah satu dari putri-putri itu berusia 10 tahun dan hapal Al Quran. Dia menenangkan semua: Biarkan beliau pergi. Beliau menyerahkan kita kepada Dzat Yang Maha Hidup, Maha Memberi rizki dan Tidak Pernah mati!
Hatim pun pergi
Hari itu berlalu, malam datang menjelang...
Mereka mulai lapar. Tapi tdk ada makanan. Semua mulai memandang protes kepada putri 10 tahun yg tlh mendorong kepergian ayah mereka.
Putri hapal Al Quran itu kembali meyakinkan mereka: Beliau menyerahkan kita kepada Dzat Yang Maha Hidup, Maha Memberi rizki dan Tidak Pernah mati!
Dlm suasana spt itu, pintu rumah mereka diketuk. Pintu dibuka. Terlihat para penunggang kuda. Mereka bertanya: Adakah air di rumah kalian?
Penghuni rumah menjawab: Ya, kami memang tidak punya apa-apa kecuali air.
Air dihidangkan. Menghilangkan dahaga mereka.
Pemimpin penunggang kuda itu pun bertanya: Rumah siapa ini?
Penghuni rumah menjawab: Hatim al Ashom.
Penunggang kuda terkejut: Hatim ulama besar muslimin.....
Penunggang kuda itu mengeluarkan sebuah kantong berisi uang dan dilemparkan ke dalam rumah dan berkata kpd para pengikutnya: Siapa yg mencintai saya, lakukan spt yg saya lakukan.
Para penunggang kuda lainnya pun melemparkan kantong-kantong mereka yg berisi uang. Sampai pintu rumah sulit ditutup, krn banyaknya kantong-kantong uang.
Mereka kemudian pergi.
Salah satu dari putri-putri itu berusia 10 tahun dan hapal Al Quran. Dia menenangkan semua: Biarkan beliau pergi. Beliau menyerahkan kita kepada Dzat Yang Maha Hidup, Maha Memberi rizki dan Tidak Pernah mati!
Hatim pun pergi
Hari itu berlalu, malam datang menjelang...
Mereka mulai lapar. Tapi tdk ada makanan. Semua mulai memandang protes kepada putri 10 tahun yg tlh mendorong kepergian ayah mereka.
Putri hapal Al Quran itu kembali meyakinkan mereka: Beliau menyerahkan kita kepada Dzat Yang Maha Hidup, Maha Memberi rizki dan Tidak Pernah mati!
Dlm suasana spt itu, pintu rumah mereka diketuk. Pintu dibuka. Terlihat para penunggang kuda. Mereka bertanya: Adakah air di rumah kalian?
Penghuni rumah menjawab: Ya, kami memang tidak punya apa-apa kecuali air.
Air dihidangkan. Menghilangkan dahaga mereka.
Pemimpin penunggang kuda itu pun bertanya: Rumah siapa ini?
Penghuni rumah menjawab: Hatim al Ashom.
Penunggang kuda terkejut: Hatim ulama besar muslimin.....
Penunggang kuda itu mengeluarkan sebuah kantong berisi uang dan dilemparkan ke dalam rumah dan berkata kpd para pengikutnya: Siapa yg mencintai saya, lakukan spt yg saya lakukan.
Para penunggang kuda lainnya pun melemparkan kantong-kantong mereka yg berisi uang. Sampai pintu rumah sulit ditutup, krn banyaknya kantong-kantong uang.
Mereka kemudian pergi.
Tahukah antum, siapa pemimpin penunggang kuda itu...?
Ternyata Abu Ja'far Al Manshur, amirul mukminin.
Ternyata Abu Ja'far Al Manshur, amirul mukminin.
Kini giliran putri 10 thn yg telah hapal Al Quran itu memandangi ibu dan saudari-saudarinya. Dia memberikan pelajaran aqidah yg sangat mahal sambil menangis:
JIKA SATU PANDANGAN MAKHLUK BISA MENCUKUPI KITA, MAKA BAGAIMANA JIKA YG MEMANDANG KITA ADALAH AL KHOLIQ!
JIKA SATU PANDANGAN MAKHLUK BISA MENCUKUPI KITA, MAKA BAGAIMANA JIKA YG MEMANDANG KITA ADALAH AL KHOLIQ!
(Terimakasih nak, kau telah menyengat kami yg dominasi kegelisahannya hanya urusan dunia.
Hingga lupa ada Al Hayyu Ar Rozzaq
Hingga lupa jaminan Nya: dan di LANGIT lah RIZKI kalian...
Bukan di pekerjaan...bukan di bank...bukan di kebun...bukan di toko...tapi DI LANGIT!
Hingga kami lupa tugas besar akhirat
Hingga lupa ada Al Hayyu Ar Rozzaq
Hingga lupa jaminan Nya: dan di LANGIT lah RIZKI kalian...
Bukan di pekerjaan...bukan di bank...bukan di kebun...bukan di toko...tapi DI LANGIT!
Hingga kami lupa tugas besar akhirat
اللهم لا تجعل الدنيا أكبر همنا
Ya Allah, jangan Kau jadikan dunia sebagai kegundahan terbesar kami.....)
Ya Allah, jangan Kau jadikan dunia sebagai kegundahan terbesar kami.....)
Ust. Budi Ashari
Pengantar Hidayah
1. dakwah ini perkara memahamkan manusia, juga mengambil hatinya | tentang sayang pada sesama, dan menginginkan kebaikan pada mereka
2. disitu kekasaran tak mendapat tempat, disitu celaan tak bermanfaat | karena bila manusia sudah tidak suka, dia cenderung menolak apapun
3. dakwah itu memahami, mengerti, bukan menekan dan menghakimi | memberikan solusi bukan mencaci, membimbing bukan menunjuk saja
4. dakwah itu bukan aku lebih baik darimu, bukan kamu salah aku benar | tapi ayo baik bersama-sama, aku dan kamu saling melengkapi
5. dakwah itu memberi keterangan pada manusia dengan bukti dan data | pada gilirannya Allah yang akan memberi hidayah, bukan kita
6. dakwah itu bukan "dengarkan aku!?", tapi aku akan dengarkan | bukan "kamu paham!?" tapi aku coba memahami
7. bila saja kita bisa lebih baik dalam berdakwah | mungkin ada lebih banyak manusia yang akan mengenal Allah
8. dan bisa jadi selama ini yang ditolak adalah kita, bukan Islamnya | jangan-jangan kita ini justru jadi penghalang manusia mengenal-Nya
9. duhai nikmatnya lisan yang bisa jadi penghantar hidayah | indahnya akhlak yang bisa jadi penenang hati dan teladan Islam
Kultwit Felix Siauw
2. disitu kekasaran tak mendapat tempat, disitu celaan tak bermanfaat | karena bila manusia sudah tidak suka, dia cenderung menolak apapun
3. dakwah itu memahami, mengerti, bukan menekan dan menghakimi | memberikan solusi bukan mencaci, membimbing bukan menunjuk saja
4. dakwah itu bukan aku lebih baik darimu, bukan kamu salah aku benar | tapi ayo baik bersama-sama, aku dan kamu saling melengkapi
5. dakwah itu memberi keterangan pada manusia dengan bukti dan data | pada gilirannya Allah yang akan memberi hidayah, bukan kita
6. dakwah itu bukan "dengarkan aku!?", tapi aku akan dengarkan | bukan "kamu paham!?" tapi aku coba memahami
7. bila saja kita bisa lebih baik dalam berdakwah | mungkin ada lebih banyak manusia yang akan mengenal Allah
8. dan bisa jadi selama ini yang ditolak adalah kita, bukan Islamnya | jangan-jangan kita ini justru jadi penghalang manusia mengenal-Nya
9. duhai nikmatnya lisan yang bisa jadi penghantar hidayah | indahnya akhlak yang bisa jadi penenang hati dan teladan Islam
Kultwit Felix Siauw
Menari di Atas Batas
Tidakkah engkau tahu anakku,
segala ‘udzur telah dihapus dengan firmanNya,
“Berangkatlah dalam keadaan ringan ataupun berat!”?
-Abu Ayyub Al Anshari, Radhiyallaahu ‘Anhu-
“Berangkatlah dalam keadaan ringan ataupun berat!”?
-Abu Ayyub Al Anshari, Radhiyallaahu ‘Anhu-
Di buku Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim, saya pernah berkisah
tentang Ibnu Taimiyah. Dia yang selalu dipasang di garis depan, menjadi
pejuang pengobar semangat ketika serbuan Mongol bergemuruh menerjang
Damaskus. Dan dialah juga yang tiap kali tugas jihad itu usai harus
bersetia menghuni selnya di penjara kota.
Tetapi jeruji-jeruji tak menghentikannya. Disaksikan besinya yang
berkarat dan temboknya yang berlumut dia ucapkan kekatanya yang
menyejarah. “Apa yang mereka lakukan padaku? Jiwaku merdeka dalam
genggaman Allah. Jika aku dipenjara, jadilah ia rehat. Jika dibuang
jadilah ia tamasya. Jika dibunuh, apalagi yang lebih kurindukan selain
menemui Allah?” Penjara tak menghentikannya. Ia tetap berkarya. Saat
tinta, kertas, dan pena dijauhkan darinya, ditulisnya Risalatul
Hamawiyah di dinding penjara dengan arang sisa perapian. Dan dunia pun
menjadi saksi, bahwa jiwanya telah menari di atas semua batas, merayakan
pengabdian yang hanya ia tujukan pada Allah sepanjang hidupnya.
Izinkan kali ini saya hadirkan seorang lagi yang menari di atas
batas. Namanya Muhammad ibn ‘Ali. Tapi orang akan lebih mengangguk tanda
kenal jika disebut nama Muhammad ibn Al Hanafiyah. Ini menisbat pada
ibunya, seorang wanita dari Bani Hanifah. Ya, ayahandanya adalah ‘Ali
ibn Abi Thalib, radhiyallaahu ‘anhu. Tapi ibundanya bukanlah Fathimah.
Artinya, dia bukan berasal dari garis turun langsung Sang Nabi,
Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam.
Satu saat seseorang mempermasalahkan pembedaan yang dilakukan atas
dirinya dibanding kedua kakandanya, Al Hasan dan Al Husain. “Tidakkah
kau lihat”, kata orang itu, “Ayahmu lebih mencintai Al Hasan dan Al
Husain dibanding dirimu?”
“Duh, jangan katakan begitu kawan!”, jawabnya kalem. “Al Hasan dan Al
Husain bagaikan dua mata bagi ayahku. Sedang aku ini bagaikan kedua
tangannya. ” Senyumnya mengembang, manis sekali. “Adalah tugas kedua
tangan”, lanjutnya, “Untuk menjaga kedua mata.” Dan memang begitulah
kehidupannya, diabdikan untuk menjaga kedua kakandanya hingga batas
waktu yang telah Allah tetapkan. Hingga, Al Hasan wafat dan Al Husain
pun gugur dalam kisah yang terlalu pedih untuk kita ceritakan.
Dendamkah Muhammad ibn Al Hanafiyah pada keluarga besar yang telah
menzhalimi keluarganya itu; Bani Umayyah? Secara manusiawi tentu
jawabnya ya. Apalagi rasa pedih itu kadang muncul di saat seharusnya ia
tunduk khusyu’ dan mentaati wasiat taqwa. Masa itu, hampir tak ada
khuthbah Jum’at yang melewatkan pujian untuk Mu’awiyah sekeluarga
sekaligus cacian untuk ‘Ali, ayahandanya. Seakan, mengumpat ‘Ali ibn Abi
Thalib adalah bagian dari rukun khuthbah.
Tetapi orang-orang kemudian tertakjub ketika ia memenuhi panggilan jihad yang diserukan Yazid ibn Mu’awiyah, orang yang paling bertanggungjawab atas pembantaian Al Husain sekeluarga. “Layakkah orang seperti itu ditaati?”, tanya orang-orang.
Tetapi orang-orang kemudian tertakjub ketika ia memenuhi panggilan jihad yang diserukan Yazid ibn Mu’awiyah, orang yang paling bertanggungjawab atas pembantaian Al Husain sekeluarga. “Layakkah orang seperti itu ditaati?”, tanya orang-orang.
“Memangnya ada apa dengannya?”
“Dia meninggalkan shalat, meminum khamr, dan jauh dari hukum Allah!”
“Aku tidak melihat itu ketika membersamainya. Dia menunaikan shalat,
cenderung pada kebajikan, dan bertanya tentang Al Quran juga sunnah
RasulNya.”
“Dia hanya berpura-pura di hadapanmu!”
“Apakah yang ditakutkannya atasku hingga harus berpura-pura? Dan jika
kalian memang melihatnya melakukan semua itu, mengapa dia tidak
berpura-pura pada kalian? Apakah kalian semua ini sahabat akrabnya yang
ingin menjebakku?”
Mereka terdiam. Saling pandang. Lalu berkata lagi, “Bukankah Bani
Umayyah yang telah menzhalimi keluargamu hingga binasa dan curas? Apa
yang akan kau katakan di hadapan Allah dan di hadapan ayahmu, juga
saudara-saudaramu, jika kini kau berperang di bawah panji-panji Bani
Umayyah?”
Muhammad ibn Al Hanafiyah tersenyum. “Ayahku kini membersamai Rasulullah di surga tertinggi, sementara saudara-saudaraku adalah penghulu para pemuda di sana. Kezhaliman Bani Umayyah adalah urusan mereka dengan Allah. Urusanku kini adalah berjihad di jalan Allah dan mentaati Ulil Amri.”
Begitulah. Tak mudah menjadi seorang Muhammad ibn Al Hanafiyah. Ada kendala-kendala, ada batas-batas yang membuatnya terhalang untuk memberikan pengabdian. Batas-batas itu bukan hanya ada di dataran raga, tapi jauh di sana, di dalam jiwanya. Dan kini jiwanya menari di atas batas, merayakan pengabdian yang sepanjang hidup ia tujukan untuk Allah.
Muhammad ibn Al Hanafiyah tersenyum. “Ayahku kini membersamai Rasulullah di surga tertinggi, sementara saudara-saudaraku adalah penghulu para pemuda di sana. Kezhaliman Bani Umayyah adalah urusan mereka dengan Allah. Urusanku kini adalah berjihad di jalan Allah dan mentaati Ulil Amri.”
Begitulah. Tak mudah menjadi seorang Muhammad ibn Al Hanafiyah. Ada kendala-kendala, ada batas-batas yang membuatnya terhalang untuk memberikan pengabdian. Batas-batas itu bukan hanya ada di dataran raga, tapi jauh di sana, di dalam jiwanya. Dan kini jiwanya menari di atas batas, merayakan pengabdian yang sepanjang hidup ia tujukan untuk Allah.
Memaknai batas kadang memberi kita permakluman untuk mengambil
‘udzur. Selalu ada pembenaran atas setiap langkah mundur yang kita
ambil. Selalu ada alasan untuk berlama-lama di tiap perhentian yang kita
singgahi. Tetapi di jalan cinta para pejuang, para kstaria agung itu
bertanya pada hati. Dan mereka menemukan jawab yang membuat jiwa menari
di atas batas, meski jasad harus bersipayah mengimbanginya. ‘Amr ibn Al
Jamuh, lelaki pincang dari Bani Najjar itu diminta rehat ketika hari
Uhud tiba. “Dengan kaki pincangku inilah”, katanya, “Aku akan melangkah
ke surga!” Jiwanya menari di atas batas, dan Sang Nabi di hari Uhud
bersaksi, “Ia kini telah berada di antara para bidadari, dengan kaki
yang utuh tak pincang lagi!”
Dengan nikmat Allah yang begitu besar atas jiwa dan raga ini, apa
yang harus kita katakan pada ‘Amr ibn Al Jamuh, Ahmad Yassin, dan
orang-orang semisal mereka saat kita disaput diam dan santai? Dengan
kemudaan ini, berkacalah kita pada Abu Ayyub Al Anshari yang di usia
delapanpuluh tahunnya bergegas-gegas ke Konstantinopel, menjadikan
pedangnya sebagai tongkat penyangga tubuh sepanjang jalan. Dan apa jawab
kita saat kita ingatkan bahwa ia punya ‘udzur, tapi justru dia
bertanya, “Tidak tahukah engkau Nak, bahwa ‘udzur telah dihapus dengan
firmanNya, ‘Berangkatlah dalam keadaan ringan maupun berat!’?”
sepenuh cinta,
Salim A. Fillah
Tidak pada tempatnya
Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Cinta lelaki biasa, Asma Nadia
Cinta lelaki biasa, Asma Nadia
Kepemimpinan: sederhana!
Kultwit Tifatul Sembiring tentang Sidang Majelis
Syuro PKS..
Assalamu'alaikum
wrwb, apa khabar tweeps budiman... Semoga selalu dalam keadaan sehat wal afiat
semua, Amien...#Kultwit...
1. Sbg salah seorang anggota MS, saya ingin berbagi
cerita tentang proses pemilihan ketua Majelis Syuro dan Presiden PKS periode
2015-2020
2. Banyak publik, termasuk kader yg tdk "ngeh"
bahwa tgl 10-12/8/2015 ini, ada perhelatan akbar PKS di Kota Baru Parahiyangan,
Jawa Barat.
3. Karena bersifat tertutup, maka kami memang sengaja
tidak mengundang teman2 media untuk melakukan liputan Sidang Majelis Syuro PKS
ini.
4. Saya sdh tiga periode menghadiri sidang MS, namun
sidang kali ini terasa sangat luar biasa, khudhu', khusyu' dan penuh ikatan
ukhuwwah...
6. Namun itulah yg saya rasakan, khidmat, kadang kami
menangis bersama, kadang tertawa. Ada sedikit ketegangan2, tp tidak sampai
gebrak meja
8. Lalu Ketua MS PKS 2010-2015 Ust. Hilmi Aminuddin, mengumumkan
selesainya masa tugas anggota MS lama disertai ucapan terimakasih dst...
9. Kemudian Ust. Hilmi Aminuddin memimpin pelantikan
anggota MS PKS yang baru, periode tahun 2015-2020. Semua berlangsung hening...
10. Sebagaimana biasa lalu dilanjutkan dg persetujuan
agenda dan pembahasan tata tertib pemilihan Ketua Majelis Syuro PKS periode
2015-2020.
11. Acara sidang pemilihan ketua MS diawali dgn pembacaan
pasal2 AD/ART PKS, syarat2 dan tatacara pemilihan ketua MS.
12. Sidang pemilihan dipimpin oleh bukan calon ketua,
anggota MS tertua dan termuda: ustadz Abu Ridho dan Poly dari Sultra s/d pkl
24.00 mlm
13. Dari penjaringan calon ketua MS, masing2 anggota
menuliskan 3 nama calon, dari proses ini maka diperoleh 3 nama dengan skor
tertinggi.
14. Yaitu Dr. Salim Segaff Aldjufrie, Dr. Hidayat
Nurwahid dan Ustadz Hilmi Aminuddin. Para anggota bertakbir, Allahu Akbar...!
15. Ada klausul lebih mendahulukan musyawarah mufakat,
maka ketua sidang menawarkan kpd floor, bagaimana jika mereka musyawarah
bertiga.
16. Floor: Setujuu... Sidangpun diskors sampai esok pagi
pukul 08.00 Senin 10/8/2015. Kami pun beringsut ke kamar masing2...
17. Pagi itu dg khidmat ustadz Hilmi Aminuddin
mengumumkan, bhw mereka bertiga sepakat ketua MS yg baru adalah Dr. Salim
Segaff Al-Djufrie.
18. Dan Wakil Ketua Majelis Syuro adalah Dr. Hidayat
Nurwahid. Ketua sidang menwarkan kepada floor, "Apakah disetujui".
Floor: "Setujuuu"...
19. Lalu dilakukan pelantikan dan ikrar ketua dan wakil
ketua Majelis Syuro PKS periode 2015-2020. Pesertapun bertakbir...
20.Lalu Dr. Salim memberikan sambutan awal, dengan lirih
beliau berkata, "Antum telah timpakan beban berat ke pundak saya..".
Hening...
21. Lalu Dr. Salim menangis sesenggukan, sampai muka
beliau menunduk diatas meja. Semua pesertapun larut ikut terisak-isak
menangis...
22. "Bagaimana nanti pertanggung jawaban saya
dihadapan Allah, tanggung jawab dakwah ini kepada Allah, tanggung jawab thd
keluarga dst...".
23. "Saya bukan yg terbaik diantara antum, saya yg
paling lemah. Tolong bantu saya, bantu keluarga saya, anak2 saya",
setengah meraung...
24. "Jazaakallah ustadz Hilmi yg sudah belasan tahun
memikul beban ini, siang malam, bahkan dalam keadaan terbaring sakit
sekalipun,..."...
25. Agenda berikutnya adalah pemilihan kelengkapan
pimpinan pusat: 1. Presiden Partai (Ketua DPP). 2. Ketua Majelis Pertimbangan
Pusat...
26. ...3. Ketua Dewan Syariah Pusat. 4. Sekretaris
Jenderal 5. Bendahara Umum dan 6. Sekretaris Majelis Syuro.
27. Menurut AD/ART, ketua Majelis Syuro adlh sebagai
formatur tunggal mengajukan nama2 utk dibahas dan disetujui oleh sidang Majelis
Syuro.
28. Namun untuk kebersamaan, maka Dr. Salim Segaff
mengajak Dr. Hidayat dan ustadz Hilmi
untuk bermusyawarah. Sidangpun diskors.
29. Pukul 13.00 siang (10/8/2015), sidang dibuka
kembali. Ketua MS mengajukan nama2 calon pimpinan pusat PKS. Masing2 anggota
mencermatinya.
30. Begitu dibuka kesempatan memberikan tanggapan,
maka yg ngacung ramai sekali, sidang cukup alot. Terutama mengenai Presiden
Partai.
31. Ketua MS mengajukan Muh. Sohibul Iman, sementara
aspirasi perwakilan daerah banyak meminta ustadz Anis Matta dilanjutkan sbg
Presiden.
32. Ramai tanggapan, sampai pukul 16.30 sore masih
belum putus. Antara yang mendukung usulan ketua MS dengan yang meminta ustadz
Anis Matta.
33. Lalu Dr. Hidayat memberikan masukan, pentingnya
posisi di Badan Kerjasama Internasional dan ustadz Anis Matta akan jd duta
besar dakwah.
34. Selama ini sudah kerap kali beliau menghadiri
seminar2 internasional, baik di negara2 Arab maupun ke negara2 lain.
35. Hal ini penting, agar dunia internasional tidak
melulu salah paham mengenai gerakan2 Islam, sering mudah melabeli dengan
teroris. dst.
36. Suasana mulai mereda. Selanjutnya Ketua MS
memberikan kesempatan kepada ustadz Anis Matta untuk menanggapinya.
37. Ustadz Anis Matta menyampaikan sikapnya,
"Saya adalah jundi yg siap ditugaskan di mana saja. Saya ditugaskan di
masa2 keadaan sulit".
38. "Alhamdulillah, kita bisa keluar dari
keadaan krisis, kosolidasi kader dan struktur, persiapan Pileg, lolos ET, ...
38. ... menggalang koalisi untuk pilpres, meraih
bbrp pimpinan di DPR/MPR, menyiapkan pilkada dst".
39. "Kadang orang sukses memimpin dimasa sulit,
namun belum tentu sukses dimasa tenang. Mungkin Dr. Sohibul Iman bisa lbh
sukses drpd saya".
40. "Saya juga menerima masukan daerah2 agar
melanjutkan kepemimpinan di DPP, tapi saya sepenuhnya tunduk kepada apa yg
diputuskan qiyadah".
41. Semakin tenang, lalu Ketua MS menawarkan kepada
floor, apakah bisa menyetujui usulan formatur. Akhirnya floor setuju, palu pun
diketuk.
42. Maka terbentuklah pengurus pusat PKS sbb: Ketua
Majelis Syuro: Dr. Salim Segaff Al-Djufrie, Wakil Ketua MS: Dr. Hidayat
Nurwahid, ...
43. ..Presiden Partai: Dr. Muhammad Sohibul Iman,
Ketua MPP: Suharna Surapranata Msc., Ketua DSP: Dr. Surahman Hidayat, Sekjen:
Taufiq Ridho
44. Bendahara Umum: Drs. Mahfudz Abdurrahman dan
Sekretaris Majelis Syuro: Untung Wahono Msc.
45. Alhamdulillah semua berjalan lancar, dalam suasana ukhuwwah, tidak saling berebut
jabatan, tanpa caci maki. Kamipun saling berpelukan.
46. Semua ini tentu atas pertolongan Allah swt
semata, Yang telah menyatukan hati2 kami
dalam cinta padaNya, berjumpa dalam mentaatiNya..
47. Berjanji menolong syariatNya. Ya Allah, Yaa
Rabbal 'Arsyil 'Azhiim, kami mohon padaMu agar kokohkan ikatannya, kekalkan
cintanya, ...
48...tunjukilah jalan2nya, sinarilah dengan cahayaMu
yg tak pernah pudar, lapangkanlah dada2 kami dengan iman padaMu, ...
49. Dan hiasilah dengan keindahan tawakkal padaMu,
dan hidupkanlah kami dg ma'rifahMu, dan matikan kami dalam syahid di jalanMu.
50. Rabbana atina fiddun-ya hasanah, wafil akhirati
hasanah, waqina adzaabannaar.
Washalillahumma 'ala sayyidinaa muhammadin...
50.
...shollallahu 'alaaihi wasallam. Amien Ya Rabbal 'Alamien...
51. Kami sangat sadar, PKS masih banyak kekurangan,
mungkin kongres atau muktamar di partai atau di ormas lain, jauh lebih baik
dari ini.
52. Untuk itu... dengan menghimpun 10 jari, sebelas
serta menghadapkan wajah kami, memohon semua masukan dan kritikan untuk menuju
kebaikan.
53. Kami mohon maaf atas segala kekeliruan, kekurang
patutan, kesalah pahaman baik ucapan, sikap dan tindakan2 kader-kader kami.
54. Kami siap bekerja sama dengan semua pihak dan
seluruh elemen, demi meraih kemajuan bangsa dan NKRI yang sama-sama kita cintai
ini.
55. Dayung ke tepian berdua kekasih/Cukuplah sekian
dan terimakasih.
Teladan hati Salman Al-Farisi
Sebuah kisah cinta menarik tercatat dalam sejarah hidup seorang shahabat Rasulullah, Salman Al-Farisi. Ia merupakan seorang mantan budak dari Isfahan Persia. Kisah cinta Salman terjadi saat ia tinggal di Madinah setelah menjadi muslim dan menjadi salah satu sahabat dekat Rasulullah.
Pada suatu waktu, Salman berkeinginan untuk menggenapkan dien dengan menikah. Selama ini, ia juga diam-diam menyukai seorang wanita salehah dari kalangan Anshar. Namun ia tak berani melamarnya. Sebagai seorang imigran, ia merasa asing dengan tempat tinggalnya, Madinah.
Bagaimana adat melamar wanita di kalangan masyarakat Madinah? Bagaimana tradisi Anshar saat mengkhitbah wanita? Demikian yang dipikirkan Salman. Ia tak tahu menahu mengenai budaya Arab. Tentu saja tak bisa sembarangan tiba-tiba datang mengkhitbah wanita tanpa persiapan matang.
Salman pun kemudian mendatangi seorang sahabatnya yang merupakan penduduk asli Madinah, Abu Darda’. Ia bermaksud meminta bantuan Abu Darda’ untuk menemaninya saat mengkhitbah wanita impiannya. Mendengarnya, Abu Darda’ pun begitu girang. “Subhanallah wa Alhamdulillah,” ujarnya begitu senang mendengar sahabatnya berencana untuk menikah. Ia pun memeluk Salman dan bersedia membantu dan mendukungnya.
Setelah beberapa hari mempersiapkan segala sesuatu, Salman pun mendatangi rumah sang gadis dengan ditemani Abu Darda’. Keduanya begitu gembira. Setoiba di rumah wanita shalehah tersebut, keduanya pun diterima dengan baik oleh tuan rumah.
“Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman dari Persia. Allah telah memuliakan Salman dengan Islam. Salman juga telah memuliakan Islam dengan jihad dan amalannya. Ia memiliki hubungan dekat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan Rasulullah menganggapnya sebagai ahlu bait (keluarga) nya,” ujar Abu Darda’ menggunakan dialek bahasa Arab setempat dengan sangat lancar dan fasih.
“Saya datang mewakili saudara saya, Salman, untuk melamar putri anda,” lanjut Abu Darda’ kepada wali si wanita, menjelaskan maksud kedatangan mereka.
Mendengarnya, si tuan rumah merasa terhormat. Tentu saja, ia kedatangan dua orang sahabat Rasulullah yang utama. Salah satunya bahkan berkeinginan melamar putrinya. “Sebuah kehormatan bagi kami menerima shabat Rasulullah yang mulia. Sebuah kehormatan pula bagi keluarga kami jika memiliki menantu dari kalangan shahabat,” ujar ayah si wanita.
Namun sang ayah tidaklah kemudian segera menerimanya. Seperti yang diajarkan Rasulullah, ia harus bertanya pendapat putrinya mengenai lamaran tersebut. Meski yang datang adalah seorang shahabat Rasul, sang ayah tetap meminta persetujuan sang putrid.
“Jawaban lamaran ini merupakan hak putri kami sepenuhnya. Oleh karena itu, saya serahkan kepada putri kami,” ujarnya kepada Abu Darda’ dan Salman AL Farisi.
Sang tuan rumah pun kemudian memberikan isyarat kepada istri dan putrinya yang berada dibalik hijab. Rupanya, putrinya telah menanti memberikan pendapatnya mengenai pria yang melamarnya. Mewakili sang putrid, ibunya pun berkata, “Mohon maaf kami perlu berterus terang,” ujarnya membuat Salman dan Abu Darda’ tegang menanti jawaban.
“Maaf atas keterusterangan kami. Putri kami menolak lamaran Salman,” jawab ibu si wanita tentu saja akan menghancurkan hati Salman. Namun Salman tegar.
Tak sampai disitu, sang ibunda melanjutkan jawaban putrinya, “Namun karena kalian berdua lah yang datang, dan mengharap ridha Allah, saya ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika Abu Darda’ memiliki keinginan yang sama seperti Salman,” kata ibu si wanita shalihah idaman Salman, wanita yang Salman inginkan untukmenjadi istrinya, wanita yang karenanya ia meminta bantuan Abu Darda’ untuk membantu pinangannya. Namun justru wanita itu memilih Abu Darda’, yang hanya menemani Salman.
Jika seperti pria pada umumnya, maka hati Salman pasti hancur berkeping-keeping. Ia akan merasakan patah hati yang teramat sangat. Namun Salman merupakan pria shaleh, seorang mulia dari kalangan shahabat Rasulullah. Dengan ketegaran hati yang luar biasa, ia justru menjawab, “Allahu akbar!” seru Salman girang.
Tak hanya itu, Salman justru menawarkan bantuan untuk pernikahan keduanya. Tanpa perasaan hati yang hancur, ia memberikan semua harta benda yang ia siapkan untuk menikahi si wanita itu. “Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan akan kuberikan semua kepada Abu Darda’. Aku juga ajan menjadi saksi pernikahan kalian,” ujar Salman dengan kelapangan hati yang begitu hebat.
Demikian kisah cinta shabat Rasulullah yang mulia, Salman Al Farisi. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah tersebut. Ketegaran hati Salman patut dijadikan uswah. Ia pun tak kecewa dengan apa yang belum ia miliki meski ia sangat menginginkannya. Smoga Allah meridhai Salman dan menempatkannya pada surga yang tertinggi.
Republika.co.id
Pada suatu waktu, Salman berkeinginan untuk menggenapkan dien dengan menikah. Selama ini, ia juga diam-diam menyukai seorang wanita salehah dari kalangan Anshar. Namun ia tak berani melamarnya. Sebagai seorang imigran, ia merasa asing dengan tempat tinggalnya, Madinah.
Bagaimana adat melamar wanita di kalangan masyarakat Madinah? Bagaimana tradisi Anshar saat mengkhitbah wanita? Demikian yang dipikirkan Salman. Ia tak tahu menahu mengenai budaya Arab. Tentu saja tak bisa sembarangan tiba-tiba datang mengkhitbah wanita tanpa persiapan matang.
Salman pun kemudian mendatangi seorang sahabatnya yang merupakan penduduk asli Madinah, Abu Darda’. Ia bermaksud meminta bantuan Abu Darda’ untuk menemaninya saat mengkhitbah wanita impiannya. Mendengarnya, Abu Darda’ pun begitu girang. “Subhanallah wa Alhamdulillah,” ujarnya begitu senang mendengar sahabatnya berencana untuk menikah. Ia pun memeluk Salman dan bersedia membantu dan mendukungnya.
Setelah beberapa hari mempersiapkan segala sesuatu, Salman pun mendatangi rumah sang gadis dengan ditemani Abu Darda’. Keduanya begitu gembira. Setoiba di rumah wanita shalehah tersebut, keduanya pun diterima dengan baik oleh tuan rumah.
“Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman dari Persia. Allah telah memuliakan Salman dengan Islam. Salman juga telah memuliakan Islam dengan jihad dan amalannya. Ia memiliki hubungan dekat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan Rasulullah menganggapnya sebagai ahlu bait (keluarga) nya,” ujar Abu Darda’ menggunakan dialek bahasa Arab setempat dengan sangat lancar dan fasih.
“Saya datang mewakili saudara saya, Salman, untuk melamar putri anda,” lanjut Abu Darda’ kepada wali si wanita, menjelaskan maksud kedatangan mereka.
Mendengarnya, si tuan rumah merasa terhormat. Tentu saja, ia kedatangan dua orang sahabat Rasulullah yang utama. Salah satunya bahkan berkeinginan melamar putrinya. “Sebuah kehormatan bagi kami menerima shabat Rasulullah yang mulia. Sebuah kehormatan pula bagi keluarga kami jika memiliki menantu dari kalangan shahabat,” ujar ayah si wanita.
Namun sang ayah tidaklah kemudian segera menerimanya. Seperti yang diajarkan Rasulullah, ia harus bertanya pendapat putrinya mengenai lamaran tersebut. Meski yang datang adalah seorang shahabat Rasul, sang ayah tetap meminta persetujuan sang putrid.
“Jawaban lamaran ini merupakan hak putri kami sepenuhnya. Oleh karena itu, saya serahkan kepada putri kami,” ujarnya kepada Abu Darda’ dan Salman AL Farisi.
Sang tuan rumah pun kemudian memberikan isyarat kepada istri dan putrinya yang berada dibalik hijab. Rupanya, putrinya telah menanti memberikan pendapatnya mengenai pria yang melamarnya. Mewakili sang putrid, ibunya pun berkata, “Mohon maaf kami perlu berterus terang,” ujarnya membuat Salman dan Abu Darda’ tegang menanti jawaban.
“Maaf atas keterusterangan kami. Putri kami menolak lamaran Salman,” jawab ibu si wanita tentu saja akan menghancurkan hati Salman. Namun Salman tegar.
Tak sampai disitu, sang ibunda melanjutkan jawaban putrinya, “Namun karena kalian berdua lah yang datang, dan mengharap ridha Allah, saya ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika Abu Darda’ memiliki keinginan yang sama seperti Salman,” kata ibu si wanita shalihah idaman Salman, wanita yang Salman inginkan untukmenjadi istrinya, wanita yang karenanya ia meminta bantuan Abu Darda’ untuk membantu pinangannya. Namun justru wanita itu memilih Abu Darda’, yang hanya menemani Salman.
Jika seperti pria pada umumnya, maka hati Salman pasti hancur berkeping-keeping. Ia akan merasakan patah hati yang teramat sangat. Namun Salman merupakan pria shaleh, seorang mulia dari kalangan shahabat Rasulullah. Dengan ketegaran hati yang luar biasa, ia justru menjawab, “Allahu akbar!” seru Salman girang.
Tak hanya itu, Salman justru menawarkan bantuan untuk pernikahan keduanya. Tanpa perasaan hati yang hancur, ia memberikan semua harta benda yang ia siapkan untuk menikahi si wanita itu. “Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan akan kuberikan semua kepada Abu Darda’. Aku juga ajan menjadi saksi pernikahan kalian,” ujar Salman dengan kelapangan hati yang begitu hebat.
Demikian kisah cinta shabat Rasulullah yang mulia, Salman Al Farisi. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah tersebut. Ketegaran hati Salman patut dijadikan uswah. Ia pun tak kecewa dengan apa yang belum ia miliki meski ia sangat menginginkannya. Smoga Allah meridhai Salman dan menempatkannya pada surga yang tertinggi.
Republika.co.id
"Katakanlah: 'Berjalanlah di muka bumi!"
Di antara perkara yang dapat melapangkan dada dan melenyapkan awan kesedihan dan kesusahan adalah berjalan menjelajah negeri dan membaca "buku penciptaan" yang terbuka lebar ini untuk menyaksikan bagaimana pena-pena kekuasaan menuliskan tanda-tanda keindahan di atas lembaran-lembaran kehidupan. Betapa tidak, karena Anda akan banyak menyaksikan taman, kebun, sawah dan bukit -bukit hijau yang indah mempesona.
Keluarlah dari rumah, lalu perhatikan apa yang ada di sekitar Anda, di depan mata Anda, dan di belakang Anda! Dakilah gunung-gunung, jamahlah tanah di lembah-lembah, panjatlah batang-batang pepohonan,
reguklah air yang jernih, dan ciumkan hidungmu atas bunga mawar! Pada saat-saat yang demikian itu, Anda akan menemukan jiwa Anda benar-benar merdeka dan bebas seperti burung yang berkicau melafalkan tasbih di angkasa kebahagiaan. Keluarlah dari rumah Anda, tutup kedua mata Anda dengan kain hitam, kemudian berjalanlah di bumi Allah yang sangat luas ini dengan senantiasa berdzikir dan bertasbih.
Mengurung diri dalam kamar yang sunyi bersama kekosongan yang membahayakan merupakan cara ampuh untuk bunuh diri. Kamar Anda bukanlah alam semesta. Dan Anda bukan manusia satu-satunya di alam ini. Karena itu, mengapa Anda harus menyerahkan diri kepada "pembisik-pembisik" kesusahan dan kesedihan? Tidakkah Anda sebaiknya menyatukan pandangan, pendengaran dan hati untuk menyeru kepada diri Anda
sendiri, {Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun berat.} (QS. At-Taubah: 41)
Marilah sekali-kali kita membaca al-Qur'an di tepi-tepi sungai, di pinggiran hutan yang rimbun, di antara burung-burung yang sedang berkicau membaca untaian puisi cinta, atau di depan gemericik aliran air sungai
yang sedang mengisahkan perjalanannya dari dari hulu ke hilir. Menjelajahi pelosok-pelosok negeri merupakan kegiatan yang sangat menyenangkan. Bahkan, para dokter sudah banyak merekomendasikan kepada mereka yang sedang stres menghadapi suatu persoalan dan tertekan oleh beratnya beban hidup, agar melepaskan semua itu dengan berjalan ke tempat-tempat indah yang tak pernah ia kunjungi. Karena itu, marilah sesekali kita berjalan menjelajah pelosok negeri untuk mencari ketenangan, bergembira, berpikir, dan sekaligus menghayati ciptaan Allah yang sangat luas ini.
{Dan, mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Rabb kami tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau."}
(QS. Ali 'Imran: 191)
La Tahzan, Aidh Al-Qarni
Keluarlah dari rumah, lalu perhatikan apa yang ada di sekitar Anda, di depan mata Anda, dan di belakang Anda! Dakilah gunung-gunung, jamahlah tanah di lembah-lembah, panjatlah batang-batang pepohonan,
reguklah air yang jernih, dan ciumkan hidungmu atas bunga mawar! Pada saat-saat yang demikian itu, Anda akan menemukan jiwa Anda benar-benar merdeka dan bebas seperti burung yang berkicau melafalkan tasbih di angkasa kebahagiaan. Keluarlah dari rumah Anda, tutup kedua mata Anda dengan kain hitam, kemudian berjalanlah di bumi Allah yang sangat luas ini dengan senantiasa berdzikir dan bertasbih.
Mengurung diri dalam kamar yang sunyi bersama kekosongan yang membahayakan merupakan cara ampuh untuk bunuh diri. Kamar Anda bukanlah alam semesta. Dan Anda bukan manusia satu-satunya di alam ini. Karena itu, mengapa Anda harus menyerahkan diri kepada "pembisik-pembisik" kesusahan dan kesedihan? Tidakkah Anda sebaiknya menyatukan pandangan, pendengaran dan hati untuk menyeru kepada diri Anda
sendiri, {Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun berat.} (QS. At-Taubah: 41)
Marilah sekali-kali kita membaca al-Qur'an di tepi-tepi sungai, di pinggiran hutan yang rimbun, di antara burung-burung yang sedang berkicau membaca untaian puisi cinta, atau di depan gemericik aliran air sungai
yang sedang mengisahkan perjalanannya dari dari hulu ke hilir. Menjelajahi pelosok-pelosok negeri merupakan kegiatan yang sangat menyenangkan. Bahkan, para dokter sudah banyak merekomendasikan kepada mereka yang sedang stres menghadapi suatu persoalan dan tertekan oleh beratnya beban hidup, agar melepaskan semua itu dengan berjalan ke tempat-tempat indah yang tak pernah ia kunjungi. Karena itu, marilah sesekali kita berjalan menjelajah pelosok negeri untuk mencari ketenangan, bergembira, berpikir, dan sekaligus menghayati ciptaan Allah yang sangat luas ini.
{Dan, mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Rabb kami tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau."}
(QS. Ali 'Imran: 191)
La Tahzan, Aidh Al-Qarni
Subscribe to:
Posts (Atom)