Labels

Jika tidak ingat orangtua, rasanya mau kabur saja




Masih ingat wahyu hidayat? Kang wahyu itu salahsatu praja IPDN yang meninggal dunia beberapa tahun silam. Kematiannya yang tak wajar menjadi sorotan berbagai media masa di Indonesia. Mendadak kabar meninggalnya wahyu menjadi pemberitaan yang seolah tak henti-hentinya disiarkan di televisi, dimuat di media cetak, bahkan kampus yang dikenal sangat tertutup inipun seketika banyak didatangi wartawan yang ingin meliput kondisi dan situasi didalamnya. Kali ini saya tidak sedang membicarakan kasus kematiannya yang menggemparkan itu. Biarlah kejadian ini menjadi semacam jarum suntik yang tajam, menusuk dan melukai namun bisa membenahi institusi ini khususnya, juga departemen dalam negeri yang mewakili pemerintahan pada umumnya.
Dibalik kasus kematiannya yang heboh diberitakan di seantero negeri, ada hal yang lebih menarik untuk diperbincangkan dari peristiwa ini. mungkin tak banyak diketahui masyarakat umum, semasa menempuh studi dikampusnya, ibunda wahyu menuturkan bahwa anaknya yang rajin ke masjid dan hobi membaca buku ini pernah melontarkan satu kalimat yang menurut saya bisa menjadi sangat mendalam maknanya. Kata-kata yang tulus dan menggambarkan tekanan berat yang dialaminya selama studi di kampus pemerintahan ini. Ucapan yang dilontarkan wahyu ketika dikunjungi kedua orangtuanya di masjid kampus adalah kata-kata yang menjadi inspirasi saya membuat catatan sederhana ini.
“Jika tidak ingat orangtua, rasanya mau kabur saja” ungkapan wahyu ini direkam jelas oleh sang ibunda. Hingga selepas kematiannya, kata-kata ini pula yang pasti membuat sesak setiap orang yang mendengarnya. Ucapannya dituturkan oleh sang ibunda tatkala mengenang putra yang amat disayanginya itu. Dituliskan pula oleh seorang inu kencana syafii dalam bukunya yang berjudul maju tak gentar, membongkar tragedI IPDN.
Dari sepenggal kisah yang saya anggap berakhir memilukan ini, ada banyak pelajaran berharga yang bisa didapat. Pelajaran mengenai satu keping episode dalam hidup ini yang mungkin seringkali atau pernah kita alami. Yaitu ketika orangtua memosisikan diri seolah menjadi sutradara utama yang menyusun skenario kehidupan kita. Orangtua yang mengatur kita akan menjadi apa nanti, akan bagaimana hidup kita di masa mendatang, dan akan menjadi seperti apa kita kelak. Bahkan terkadang bukan hanya sekedar sebagai sutradara, orangtua juga seakan menjadi orang yang paling berhak menuliskan berderet naskah panjang yang menentukan peran apa yang harus kita lakukan hari ini maupun esok, Lebih jauh dari itu, orang tua menjadi seumpama dalang yang merancang alur kehidupan kita sebagai wayang dan bebas memainkannya sesuka hati. Mungkin hal ini pula yang terjadi pada wahyu hidayat, beliau yang telah diterima oleh perguruan tinggi Institut Pertanian Bogor dan dengan gelar Insinyur jika lulus nanti harus rela menuruti keinginan orang tuanya untuk mengikuti tes penerimaan mahasiswa di IPDN hingga ia lulus menjadi salahsatu prajanya. Bagi sebagian orang mungkin pernyataan ini terlampau berlebihan, namun bagi sebagian orang lainnya yang mengalami hal serupa pasti merasakan betapa sesuainya kenyataan ini dengan sikap orangtuanya yang memang bersikap begitu mengendalikan setiap tindakan mereka. Tentu saja bukan merupakan suatu kesalahan jika orang tua melakukan hal-hal semacam itu, toh seperti ungkapan yang sering kita dengar ketika membahas persoalan terkait anak dan orang tua yaitu menyebutkan bahwa setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Yang jadi masalah adalah, ketika ukuran terbaik menurut orang tua itu apakah merupakan hal yang benar-benar terbaik untuk kehidupan sang anak. Seringkali, orang tua dengan kapasitas yang dimilikinya cenderung memaksakan kehendaknya diikuti oleh si anak. Selain itu, belum tentu juga ketika seorang anak menuruti setiap keinginan orangtua maka hidupnya akan menjadi sesuai seperti yang diharapkan.
Tapi pada akhirnya, apapun yang orangtua pilih untuk kita maka itu merupakan pilihan mereka yang tentu berdasarkan pada banyak pertimbangan dan pengalaman yang dilaluinya. Ketika kita sebagai anak merasakan ketidaksesuaian antara maksud pribadi dengan keinginan orang tua, maka kesempatan untuk menyampaikan keresahan itu terbuka bagi setiap anak. Jangan sampai, kita menerima begitu saja pilihan orang tua yang bisa jadi kenyataan sesungguhnya tidak sesuai dengan yang diinginkan. Dan tentu, jangan sampai suatu saat kita mengatakan “jika tidak ingat orangtua rasanya mau kabur saja”. Sebab orangtualah, kita bisa bertahan dari banyaknya persoalan yang dihadapi, pun karena orangtua, kita dapat menghadapi banyak pula masalah yang mungkin saja memaksa kita untuk “melarikan diri” dari banyak urusan dan persoalan yang datang kemudian.
Catatan ini tidak dimaksudkan untuk menghadirkan solusi “pertikaian” anak dan orangtua, namun sekedar menjadi gambaran betapa banyaknya hal yang mesti dikomunikasikan antara setiap keinginan anak dan orangtua.

0 comments:

Post a Comment

 

Blogger news

Blogroll