Labels

Karena Ukuran Kita Tak Sama

"seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya
    memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti
    memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan
    kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi" 
Seorang lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah padang. Siang itu, mentari seakan didekatkan hingga sejengkal. Pasir membara, ranting-ranting menyala dalam tiupan angin yang keras dan panas. Dan lelaki itu masih berlari-lari. Lelaki itu menutupi wajah dari pasir yang beterbangan dengan surbannya, mengejar dan menggiring seekor anak unta.

Di padang gembalaan tak jauh darinya, berdiri sebuah dangau pribadi berjendela. Sang pemilik, ’Utsman ibn ‘Affan, sedang beristirahat sambil melantun Al Quran, dengan menyanding air sejuk dan buah-buahan. Ketika melihat lelaki nan berlari-lari itu dan mengenalnya,

“Masya Allah” ’Utsman berseru, ”Bukankah itu Amirul Mukminin?!”

Ya, lelaki tinggi besar itu adalah ‘Umar ibn Al Khaththab.

”Ya Amirul Mukminin!” teriak ‘Utsman sekuat tenaga dari pintu dangaunya,

“Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini? Masuklah kemari!”

Dinding dangau di samping Utsman berderak keras diterpa angin yang deras.

”Seekor unta zakat terpisah dari kawanannya. Aku takut Allah akan menanyakannya padaku. Aku akan menangkapnya. Masuklah hai ‘Utsman!” ’Umar berteriak dari kejauhan. Suaranya bersiponggang menggema memenuhi lembah dan bukit di sekalian padang.

“Masuklah kemari!” seru ‘Utsman,“Akan kusuruh pembantuku menangkapnya untukmu!”.

”Tidak!”, balas ‘Umar, “Masuklah ‘Utsman! Masuklah!”

“Demi Allah, hai Amirul Mukminin, kemarilah, Insya Allah unta itu akan kita dapatkan kembali.“

“Tidak, ini tanggung jawabku. Masuklah engkau hai ‘Utsman, anginnya makin keras, badai pasirnya mengganas!”

Angin makin kencang membawa butiran pasir membara. ‘Utsman pun masuk dan menutup pintu dangaunya. Dia bersandar dibaliknya & bergumam,

”Demi Allah, benarlah Dia & RasulNya. Engkau memang bagai Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.”

‘Umar memang bukan ‘Utsman. Pun juga sebaliknya. Mereka berbeda, dan masing-masing menjadi unik dengan watak khas yang dimiliki.

‘Umar, jagoan yang biasa bergulat di Ukazh, tumbuh di tengah bani Makhzum nan keras & bani Adi nan jantan, kini memimpin kaum mukminin. Sifat-sifat itu –keras, jantan, tegas, tanggungjawab & ringan tangan turun gelanggang – dibawa ‘Umar, menjadi ciri khas kepemimpinannya.

‘Utsman, lelaki pemalu, anak tersayang kabilahnya, datang dari keluarga bani ‘Umayyah yang kaya raya dan terbiasa hidup nyaman sentausa. ’Umar tahu itu. Maka tak dimintanya ‘Utsman ikut turun ke sengatan mentari bersamanya mengejar unta zakat yang melarikan diri. Tidak. Itu bukan kebiasaan ‘Utsman. Rasa malulah yang menjadi akhlaq cantiknya. Kehalusan budi perhiasannya. Kedermawanan yang jadi jiwanya. Andai ‘Utsman jadi menyuruh sahayanya mengejar unta zakat itu; sang budak pasti dibebaskan karena Allah & dibekalinya bertimbun dinar.

Itulah ‘Umar. Dan inilah ‘Utsman. Mereka berbeda.

Bagaimanapun, Anas ibn Malik bersaksi bahwa ‘Utsman berusaha keras meneladani sebagian perilaku mulia ‘Umar sejauh jangkauan dirinya. Hidup sederhana ketika menjabat sebagai Khalifah misalnya.

“Suatu hari aku melihat ‘Utsman berkhutbah di mimbar Nabi ShallaLlaahu ‘Alaihi wa Sallam di Masjid Nabawi,” kata Anas . “Aku menghitung tambalan di surban dan jubah ‘Utsman”, lanjut Anas, “Dan kutemukan tak kurang dari tiga puluh dua jahitan.”

Dalam Dekapan ukhuwah, kita punya ukuran-ukuran yang tak serupa. Kita memiliki latar belakang yang berlainan. Maka tindak utama yang harus kita punya adalah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau baju milik tokoh lain lagi.

Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah dirinya. Tak ada yang berhak memaksa sesamanya untuk menjadi sesiapa yang ada dalam angannya.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus pada saudara yang sedang diberi amanah memimpin umat. Tetapi jangan membebani dengan cara membandingkan dia terus-menerus kepada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat pada saudara yang tengah diamanahi kekayaan. Tetapi jangan membebaninya dengan cara menyebut-nyebut selalu kisah berinfaqnya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat saudara yang dianugerahi ilmu. Tapi jangan membuatnya merasa berat dengan menuntutnya agar menjadi Zaid ibn Tsabit yang menguasai bahasa Ibrani dalam empat belas hari.

Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk menjadi orang lain di zaman yang sama, apalagi menggugatnya agar tepat seperti tokoh lain pada masa yang berbeda. ‘Ali ibn Abi Thalib yang pernah diperlakukan begitu, punya jawaban yang telak dan lucu.

“Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan ‘Umar” kata lelaki kepada ‘Ali, “Keadaannya begitu tentram, damai dan penuh berkah. Mengapa di masa kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan rusak?”

“Sebab,” kata ‘Ali sambil tersenyum, “Pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar, rakyatnya seperti aku.
Adapun di zamanku ini, rakyatnya seperti kamu!”

Dalam dekapan ukhuwah, segala kecemerlangan generasi Salaf memang ada untuk kita teladani. Tetapi caranya bukan menuntut orang lain berperilaku seperti halnya Abu Bakar, ‘Umar, “Utsman atau ‘Ali.

Sebagaimana Nabi tidak meminta Sa’d ibn Abi Waqqash melakukan peran Abu Bakar, fahamilah dalam-dalam tiap pribadi. Selebihnya jadikanlah diri kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka. Tuntutlah diri untuk berperilaku sebagaimana para salafush shalih dan sesudah itu tak perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak mengikuti.

Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk juga menjadi teladan, akan kehilangan makna keteladanan itu sendiri. Maka jadilah kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah.

Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati memiliki kecenderungannya, masing-masing badan memiliki pakaiannya dan masing-masing kaki mempunyai sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi akan membawa damai. Dalam damai pula keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang masa.

Selanjutnya, kita harus belajar untuk menerima bahwa sudut pandang orang lain adalah juga sudut pandang yang absah. Sebagai sesama mukmin, perbedaan dalam hal-hal bukan asasi
tak lagi terpisah sebagai “haq” dan “bathil”. Istilah yang tepat adalah “shawab” dan “khatha”.

Tempaan pengalaman yang tak serupa akan membuatnya lebih berlainan lagi antara satu dengan yang lain.

Seyakin-yakinnya kita dengan apa yang kita pahami, itu tidak seharusnya membuat kita terbutakan dari kebenaran yang lebih bercahaya.

Imam Asy Syafi’i pernah menyatakan hal ini dengan indah. “Pendapatku ini benar,” ujar beliau,”Tetapi mungkin mengandung kesalahan. Adapun pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung kebenaran.”

sepenuh cinta,
Salim A. Fillah

    Belajar Tawakal Kepada Putri 10 Tahun

    Hatim Al Ashom, ulama besar muslimin, teladan kesederhanaan dan tawakal.
    Hatim suatu hari berkata kepada istri dan 9 putrinya bahwa ia akan pergi utk menuntut ilmu. Istri dan putri putrinya keberatan. Krn siapa yg akan memberi mereka makan.
    Salah satu dari putri-putri itu berusia 10 tahun dan hapal Al Quran. Dia menenangkan semua: Biarkan beliau pergi. Beliau menyerahkan kita kepada Dzat Yang Maha Hidup, Maha Memberi rizki dan Tidak Pernah mati!
    Hatim pun pergi
    Hari itu berlalu, malam datang menjelang...
    Mereka mulai lapar. Tapi tdk ada makanan. Semua mulai memandang protes kepada putri 10 tahun yg tlh mendorong kepergian ayah mereka.
    Putri hapal Al Quran itu kembali meyakinkan mereka: Beliau menyerahkan kita kepada Dzat Yang Maha Hidup, Maha Memberi rizki dan Tidak Pernah mati!
    Dlm suasana spt itu, pintu rumah mereka diketuk. Pintu dibuka. Terlihat para penunggang kuda. Mereka bertanya: Adakah air di rumah kalian?
    Penghuni rumah menjawab: Ya, kami memang tidak punya apa-apa kecuali air.
    Air dihidangkan. Menghilangkan dahaga mereka.
    Pemimpin penunggang kuda itu pun bertanya: Rumah siapa ini?
    Penghuni rumah menjawab: Hatim al Ashom.
    Penunggang kuda terkejut: Hatim ulama besar muslimin.....
    Penunggang kuda itu mengeluarkan sebuah kantong berisi uang dan dilemparkan ke dalam rumah dan berkata kpd para pengikutnya: Siapa yg mencintai saya, lakukan spt yg saya lakukan.
    Para penunggang kuda lainnya pun melemparkan kantong-kantong mereka yg berisi uang. Sampai pintu rumah sulit ditutup, krn banyaknya kantong-kantong uang.
    Mereka kemudian pergi.
    Tahukah antum, siapa pemimpin penunggang kuda itu...?
    Ternyata Abu Ja'far Al Manshur, amirul mukminin.
    Kini giliran putri 10 thn yg telah hapal Al Quran itu memandangi ibu dan saudari-saudarinya. Dia memberikan pelajaran aqidah yg sangat mahal sambil menangis:
    JIKA SATU PANDANGAN MAKHLUK BISA MENCUKUPI KITA, MAKA BAGAIMANA JIKA YG MEMANDANG KITA ADALAH AL KHOLIQ!
    (Terimakasih nak, kau telah menyengat kami yg dominasi kegelisahannya hanya urusan dunia.
    Hingga lupa ada Al Hayyu Ar Rozzaq
    Hingga lupa jaminan Nya: dan di LANGIT lah RIZKI kalian...
    Bukan di pekerjaan...bukan di bank...bukan di kebun...bukan di toko...tapi DI LANGIT!
    Hingga kami lupa tugas besar akhirat
    اللهم لا تجعل الدنيا أكبر همنا
    Ya Allah, jangan Kau jadikan dunia sebagai kegundahan terbesar kami.....)
    Ust. Budi Ashari

    Pengantar Hidayah

    1. dakwah ini perkara memahamkan manusia, juga mengambil hatinya | tentang sayang pada sesama, dan menginginkan kebaikan pada mereka

    2. disitu kekasaran tak mendapat tempat, disitu celaan tak bermanfaat | karena bila manusia sudah tidak suka, dia cenderung menolak apapun

    3. dakwah itu memahami, mengerti, bukan menekan dan menghakimi | memberikan solusi bukan mencaci, membimbing bukan menunjuk saja

    4. dakwah itu bukan aku lebih baik darimu, bukan kamu salah aku benar | tapi ayo baik bersama-sama, aku dan kamu saling melengkapi

    5. dakwah itu memberi keterangan pada manusia dengan bukti dan data | pada gilirannya Allah yang akan memberi hidayah, bukan kita

    6. dakwah itu bukan "dengarkan aku!?", tapi aku akan dengarkan | bukan "kamu paham!?" tapi aku coba memahami

    7. bila saja kita bisa lebih baik dalam berdakwah | mungkin ada lebih banyak manusia yang akan mengenal Allah

    8. dan bisa jadi selama ini yang ditolak adalah kita, bukan Islamnya | jangan-jangan kita ini justru jadi penghalang manusia mengenal-Nya

    9. duhai nikmatnya lisan yang bisa jadi penghantar hidayah | indahnya akhlak yang bisa jadi penenang hati dan teladan Islam

    Kultwit Felix Siauw

    Menari di Atas Batas

    Tidakkah engkau tahu anakku,
    segala ‘udzur telah dihapus dengan firmanNya,
    “Berangkatlah dalam keadaan ringan ataupun berat!”?
    -Abu Ayyub Al Anshari, Radhiyallaahu ‘Anhu-
    Di buku Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim, saya pernah berkisah tentang Ibnu Taimiyah. Dia yang selalu dipasang di garis depan, menjadi pejuang pengobar semangat ketika serbuan Mongol bergemuruh menerjang Damaskus. Dan dialah juga yang tiap kali tugas jihad itu usai harus bersetia menghuni selnya di penjara kota.
    Tetapi jeruji-jeruji tak menghentikannya. Disaksikan besinya yang berkarat dan temboknya yang berlumut dia ucapkan kekatanya yang menyejarah. “Apa yang mereka lakukan padaku? Jiwaku merdeka dalam genggaman Allah. Jika aku dipenjara, jadilah ia rehat. Jika dibuang jadilah ia tamasya. Jika dibunuh, apalagi yang lebih kurindukan selain menemui Allah?” Penjara tak menghentikannya. Ia tetap berkarya. Saat tinta, kertas, dan pena dijauhkan darinya, ditulisnya Risalatul Hamawiyah di dinding penjara dengan arang sisa perapian. Dan dunia pun menjadi saksi, bahwa jiwanya telah menari di atas semua batas, merayakan pengabdian yang hanya ia tujukan pada Allah sepanjang hidupnya.
    Izinkan kali ini saya hadirkan seorang lagi yang menari di atas batas. Namanya Muhammad ibn ‘Ali. Tapi orang akan lebih mengangguk tanda kenal jika disebut nama Muhammad ibn Al Hanafiyah. Ini menisbat pada ibunya, seorang wanita dari Bani Hanifah. Ya, ayahandanya adalah ‘Ali ibn Abi Thalib, radhiyallaahu ‘anhu. Tapi ibundanya bukanlah Fathimah. Artinya, dia bukan berasal dari garis turun langsung Sang Nabi, Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam.
    Satu saat seseorang mempermasalahkan pembedaan yang dilakukan atas dirinya dibanding kedua kakandanya, Al Hasan dan Al Husain. “Tidakkah kau lihat”, kata orang itu, “Ayahmu lebih mencintai Al Hasan dan Al Husain dibanding dirimu?”
    “Duh, jangan katakan begitu kawan!”, jawabnya kalem. “Al Hasan dan Al Husain bagaikan dua mata bagi ayahku. Sedang aku ini bagaikan kedua tangannya. ” Senyumnya mengembang, manis sekali. “Adalah tugas kedua tangan”, lanjutnya, “Untuk menjaga kedua mata.” Dan memang begitulah kehidupannya, diabdikan untuk menjaga kedua kakandanya hingga batas waktu yang telah Allah tetapkan. Hingga, Al Hasan wafat dan Al Husain pun gugur dalam kisah yang terlalu pedih untuk kita ceritakan.
    Dendamkah Muhammad ibn Al Hanafiyah pada keluarga besar yang telah menzhalimi keluarganya itu; Bani Umayyah? Secara manusiawi tentu jawabnya ya. Apalagi rasa pedih itu kadang muncul di saat seharusnya ia tunduk khusyu’ dan mentaati wasiat taqwa. Masa itu, hampir tak ada khuthbah Jum’at yang melewatkan pujian untuk Mu’awiyah sekeluarga sekaligus cacian untuk ‘Ali, ayahandanya. Seakan, mengumpat ‘Ali ibn Abi Thalib adalah bagian dari rukun khuthbah.
    Tetapi orang-orang kemudian tertakjub ketika ia memenuhi panggilan jihad yang diserukan Yazid ibn Mu’awiyah, orang yang paling bertanggungjawab atas pembantaian Al Husain sekeluarga. “Layakkah orang seperti itu ditaati?”, tanya orang-orang.
    “Memangnya ada apa dengannya?”
    “Dia meninggalkan shalat, meminum khamr, dan jauh dari hukum Allah!”
    “Aku tidak melihat itu ketika membersamainya. Dia menunaikan shalat, cenderung pada kebajikan, dan bertanya tentang Al Quran juga sunnah RasulNya.”
    “Dia hanya berpura-pura di hadapanmu!”
    “Apakah yang ditakutkannya atasku hingga harus berpura-pura? Dan jika kalian memang melihatnya melakukan semua itu, mengapa dia tidak berpura-pura pada kalian? Apakah kalian semua ini sahabat akrabnya yang ingin menjebakku?”
    Mereka terdiam. Saling pandang. Lalu berkata lagi, “Bukankah Bani Umayyah yang telah menzhalimi keluargamu hingga binasa dan curas? Apa yang akan kau katakan di hadapan Allah dan di hadapan ayahmu, juga saudara-saudaramu, jika kini kau berperang di bawah panji-panji Bani Umayyah?”
    Muhammad ibn Al Hanafiyah tersenyum. “Ayahku kini membersamai Rasulullah di surga tertinggi, sementara saudara-saudaraku adalah penghulu para pemuda di sana. Kezhaliman Bani Umayyah adalah urusan mereka dengan Allah. Urusanku kini adalah berjihad di jalan Allah dan mentaati Ulil Amri.”
    Begitulah. Tak mudah menjadi seorang Muhammad ibn Al Hanafiyah. Ada kendala-kendala, ada batas-batas yang membuatnya terhalang untuk memberikan pengabdian. Batas-batas itu bukan hanya ada di dataran raga, tapi jauh di sana, di dalam jiwanya. Dan kini jiwanya menari di atas batas, merayakan pengabdian yang sepanjang hidup ia tujukan untuk Allah.
    Memaknai batas kadang memberi kita permakluman untuk mengambil ‘udzur. Selalu ada pembenaran atas setiap langkah mundur yang kita ambil. Selalu ada alasan untuk berlama-lama di tiap perhentian yang kita singgahi. Tetapi di jalan cinta para pejuang, para kstaria agung itu bertanya pada hati. Dan mereka menemukan jawab yang membuat jiwa menari di atas batas, meski jasad harus bersipayah mengimbanginya. ‘Amr ibn Al Jamuh, lelaki pincang dari Bani Najjar itu diminta rehat ketika hari Uhud tiba. “Dengan kaki pincangku inilah”, katanya, “Aku akan melangkah ke surga!” Jiwanya menari di atas batas, dan Sang Nabi di hari Uhud bersaksi, “Ia kini telah berada di antara para bidadari, dengan kaki yang utuh tak pincang lagi!”
    Dengan nikmat Allah yang begitu besar atas jiwa dan raga ini, apa yang harus kita katakan pada ‘Amr ibn Al Jamuh, Ahmad Yassin, dan orang-orang semisal mereka saat kita disaput diam dan santai? Dengan kemudaan ini, berkacalah kita pada Abu Ayyub Al Anshari yang di usia delapanpuluh tahunnya bergegas-gegas ke Konstantinopel, menjadikan pedangnya sebagai tongkat penyangga tubuh sepanjang jalan. Dan apa jawab kita saat kita ingatkan bahwa ia punya ‘udzur, tapi justru dia bertanya, “Tidak tahukah engkau Nak, bahwa ‘udzur telah dihapus dengan firmanNya, ‘Berangkatlah dalam keadaan ringan maupun berat!’?”
    sepenuh cinta,

    Salim A. Fillah

    Tidak pada tempatnya

    Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

    Cinta lelaki biasa, Asma Nadia

    Kepemimpinan: sederhana!

    Kultwit Tifatul Sembiring tentang Sidang Majelis Syuro PKS..
    Assalamu'alaikum wrwb, apa khabar tweeps budiman... Semoga selalu dalam keadaan sehat wal afiat semua, Amien...#Kultwit...
    1. Sbg salah seorang anggota MS, saya ingin berbagi cerita tentang proses pemilihan ketua Majelis Syuro dan Presiden PKS periode 2015-2020
    2. Banyak publik, termasuk kader yg tdk "ngeh" bahwa tgl 10-12/8/2015 ini, ada perhelatan akbar PKS di Kota Baru Parahiyangan, Jawa Barat.
    3. Karena bersifat tertutup, maka kami memang sengaja tidak mengundang teman2 media untuk melakukan liputan Sidang Majelis Syuro PKS ini.
    4. Saya sdh tiga periode menghadiri sidang MS, namun sidang kali ini terasa sangat luar biasa, khudhu', khusyu' dan penuh ikatan ukhuwwah...
    5. Serasa ada ruh yang dulu pergi, bagai kembali masuk ke dalam raga ini... #lebay.
    6. Namun itulah yg saya rasakan, khidmat, kadang kami menangis bersama, kadang tertawa. Ada sedikit ketegangan2, tp tidak sampai gebrak meja
    7. Tidak ada satgas yg berbadan tegap dan berwajah sangar....#nyindir.
    8. Lalu Ketua MS PKS 2010-2015 Ust. Hilmi Aminuddin, mengumumkan selesainya masa tugas anggota MS lama disertai ucapan terimakasih dst...
    9. Kemudian Ust. Hilmi Aminuddin memimpin pelantikan anggota MS PKS yang baru, periode tahun 2015-2020. Semua berlangsung hening...
    10. Sebagaimana biasa lalu dilanjutkan dg persetujuan agenda dan pembahasan tata tertib pemilihan Ketua Majelis Syuro PKS periode 2015-2020.
    11. Acara sidang pemilihan ketua MS diawali dgn pembacaan pasal2 AD/ART PKS, syarat2 dan tatacara pemilihan ketua MS.
    12. Sidang pemilihan dipimpin oleh bukan calon ketua, anggota MS tertua dan termuda: ustadz Abu Ridho dan Poly dari Sultra s/d pkl 24.00 mlm
    13. Dari penjaringan calon ketua MS, masing2 anggota menuliskan 3 nama calon, dari proses ini maka diperoleh 3 nama dengan skor tertinggi.
    14. Yaitu Dr. Salim Segaff Aldjufrie, Dr. Hidayat Nurwahid dan Ustadz Hilmi Aminuddin. Para anggota bertakbir, Allahu Akbar...!
    15. Ada klausul lebih mendahulukan musyawarah mufakat, maka ketua sidang menawarkan kpd floor, bagaimana jika mereka musyawarah bertiga.
    16. Floor: Setujuu... Sidangpun diskors sampai esok pagi pukul 08.00 Senin 10/8/2015. Kami pun beringsut ke kamar masing2...
    17. Pagi itu dg khidmat ustadz Hilmi Aminuddin mengumumkan, bhw mereka bertiga sepakat ketua MS yg baru adalah Dr. Salim Segaff Al-Djufrie.
    18. Dan Wakil Ketua Majelis Syuro adalah Dr. Hidayat Nurwahid. Ketua sidang menwarkan kepada floor, "Apakah disetujui". Floor: "Setujuuu"...
    19. Lalu dilakukan pelantikan dan ikrar ketua dan wakil ketua Majelis Syuro PKS periode 2015-2020. Pesertapun bertakbir...
    20.Lalu Dr. Salim memberikan sambutan awal, dengan lirih beliau berkata, "Antum telah timpakan beban berat ke pundak saya..". Hening...
    21. Lalu Dr. Salim menangis sesenggukan, sampai muka beliau menunduk diatas meja. Semua pesertapun larut ikut terisak-isak menangis...
    22. "Bagaimana nanti pertanggung jawaban saya dihadapan Allah, tanggung jawab dakwah ini kepada Allah, tanggung jawab thd keluarga dst...".
    23. "Saya bukan yg terbaik diantara antum, saya yg paling lemah. Tolong bantu saya, bantu keluarga saya, anak2 saya", setengah meraung...
    24. "Jazaakallah ustadz Hilmi yg sudah belasan tahun memikul beban ini, siang malam, bahkan dalam keadaan terbaring sakit sekalipun,..."...
    25. Agenda berikutnya adalah pemilihan kelengkapan pimpinan pusat: 1. Presiden Partai (Ketua DPP). 2. Ketua Majelis Pertimbangan Pusat...
    26. ...3. Ketua Dewan Syariah Pusat. 4. Sekretaris Jenderal 5. Bendahara Umum dan 6. Sekretaris Majelis Syuro.
    27. Menurut AD/ART, ketua Majelis Syuro adlh sebagai formatur tunggal mengajukan nama2 utk dibahas dan disetujui oleh sidang Majelis Syuro.
    28. Namun untuk kebersamaan, maka Dr. Salim Segaff mengajak Dr. Hidayat  dan ustadz Hilmi untuk bermusyawarah. Sidangpun diskors.
    29. Pukul 13.00 siang (10/8/2015), sidang dibuka kembali. Ketua MS mengajukan nama2 calon pimpinan pusat PKS. Masing2 anggota mencermatinya.
    30. Begitu dibuka kesempatan memberikan tanggapan, maka yg ngacung ramai sekali, sidang cukup alot. Terutama mengenai Presiden Partai.
    31. Ketua MS mengajukan Muh. Sohibul Iman, sementara aspirasi perwakilan daerah banyak meminta ustadz Anis Matta dilanjutkan sbg Presiden.
    32. Ramai tanggapan, sampai pukul 16.30 sore masih belum putus. Antara yang mendukung usulan ketua MS dengan yang meminta ustadz Anis Matta.
    33. Lalu Dr. Hidayat memberikan masukan, pentingnya posisi di Badan Kerjasama Internasional dan ustadz Anis Matta akan jd duta besar dakwah.
    34. Selama ini sudah kerap kali beliau menghadiri seminar2 internasional, baik di negara2 Arab maupun ke negara2 lain.
    35. Hal ini penting, agar dunia internasional tidak melulu salah paham mengenai gerakan2 Islam, sering mudah melabeli dengan teroris. dst.
    36. Suasana mulai mereda. Selanjutnya Ketua MS memberikan kesempatan kepada ustadz Anis Matta untuk menanggapinya.
    37. Ustadz Anis Matta menyampaikan sikapnya, "Saya adalah jundi yg siap ditugaskan di mana saja. Saya ditugaskan di masa2 keadaan sulit".
    38. "Alhamdulillah, kita bisa keluar dari keadaan krisis, kosolidasi kader dan struktur, persiapan Pileg, lolos ET, ...
    38. ... menggalang koalisi untuk pilpres, meraih bbrp pimpinan di DPR/MPR, menyiapkan pilkada dst".
    39. "Kadang orang sukses memimpin dimasa sulit, namun belum tentu sukses dimasa tenang. Mungkin Dr. Sohibul Iman bisa lbh sukses drpd saya".
    40. "Saya juga menerima masukan daerah2 agar melanjutkan kepemimpinan di DPP, tapi saya sepenuhnya tunduk kepada apa yg diputuskan qiyadah".
    41. Semakin tenang, lalu Ketua MS menawarkan kepada floor, apakah bisa menyetujui usulan formatur. Akhirnya floor setuju, palu pun diketuk.
    42. Maka terbentuklah pengurus pusat PKS sbb: Ketua Majelis Syuro: Dr. Salim Segaff Al-Djufrie, Wakil Ketua MS: Dr. Hidayat Nurwahid, ...
    43. ..Presiden Partai: Dr. Muhammad Sohibul Iman, Ketua MPP: Suharna Surapranata Msc., Ketua DSP: Dr. Surahman Hidayat, Sekjen: Taufiq Ridho
    44. Bendahara Umum: Drs. Mahfudz Abdurrahman dan Sekretaris Majelis Syuro: Untung Wahono Msc.
    45. Alhamdulillah semua berjalan lancar,  dalam suasana ukhuwwah, tidak saling berebut jabatan, tanpa caci maki. Kamipun saling berpelukan.
    46. Semua ini tentu atas pertolongan Allah swt semata, Yang telah  menyatukan hati2 kami dalam cinta padaNya, berjumpa dalam mentaatiNya..
    47. Berjanji menolong syariatNya. Ya Allah, Yaa Rabbal 'Arsyil 'Azhiim, kami mohon padaMu agar kokohkan ikatannya, kekalkan cintanya, ...
    48...tunjukilah jalan2nya, sinarilah dengan cahayaMu yg tak pernah pudar, lapangkanlah dada2 kami dengan iman padaMu, ...
    49. Dan hiasilah dengan keindahan tawakkal padaMu, dan hidupkanlah kami dg ma'rifahMu, dan matikan kami dalam syahid di jalanMu.
    50. Rabbana atina fiddun-ya hasanah, wafil akhirati hasanah, waqina adzaabannaar.  Washalillahumma 'ala sayyidinaa muhammadin...
    50.  ...shollallahu 'alaaihi wasallam. Amien Ya Rabbal 'Alamien...
    51. Kami sangat sadar, PKS masih banyak kekurangan, mungkin kongres atau muktamar di partai atau di ormas lain, jauh lebih baik dari ini.
    52. Untuk itu... dengan menghimpun 10 jari, sebelas serta menghadapkan wajah kami, memohon semua masukan dan kritikan untuk menuju kebaikan.
    53. Kami mohon maaf atas segala kekeliruan, kekurang patutan, kesalah pahaman baik ucapan, sikap dan tindakan2 kader-kader kami.
    54. Kami siap bekerja sama dengan semua pihak dan seluruh elemen, demi meraih kemajuan bangsa dan NKRI yang sama-sama kita cintai ini.
    55. Dayung ke tepian berdua kekasih/Cukuplah sekian dan terimakasih.

    Teladan hati Salman Al-Farisi

    Sebuah kisah cinta menarik tercatat dalam sejarah hidup seorang shahabat Rasulullah, Salman Al-Farisi. Ia merupakan seorang mantan budak dari Isfahan Persia. Kisah cinta Salman terjadi saat ia tinggal di Madinah setelah menjadi muslim dan menjadi salah satu sahabat dekat Rasulullah.

    Pada suatu waktu, Salman berkeinginan untuk menggenapkan dien dengan menikah. Selama ini, ia juga diam-diam menyukai seorang wanita salehah dari kalangan Anshar. Namun ia tak berani melamarnya. Sebagai seorang imigran, ia merasa asing dengan tempat tinggalnya, Madinah.

    Bagaimana adat melamar wanita di kalangan masyarakat Madinah? Bagaimana tradisi Anshar saat mengkhitbah wanita? Demikian yang dipikirkan Salman. Ia tak tahu menahu mengenai budaya Arab. Tentu saja tak bisa sembarangan tiba-tiba datang mengkhitbah wanita tanpa persiapan matang.

    Salman pun kemudian mendatangi seorang sahabatnya yang merupakan penduduk asli Madinah, Abu Darda’. Ia bermaksud meminta bantuan Abu Darda’ untuk menemaninya saat mengkhitbah wanita impiannya. Mendengarnya, Abu Darda’ pun begitu girang. “Subhanallah wa Alhamdulillah,” ujarnya begitu senang mendengar sahabatnya berencana untuk menikah. Ia pun memeluk Salman dan bersedia membantu dan mendukungnya. 

    Setelah beberapa hari mempersiapkan segala sesuatu, Salman pun mendatangi rumah sang gadis dengan ditemani Abu Darda’. Keduanya begitu gembira. Setoiba di rumah wanita shalehah tersebut, keduanya pun diterima dengan baik oleh tuan rumah.

    “Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman dari Persia. Allah telah memuliakan Salman dengan Islam. Salman juga telah memuliakan Islam dengan jihad dan amalannya. Ia memiliki hubungan dekat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan Rasulullah menganggapnya sebagai ahlu bait (keluarga) nya,” ujar Abu Darda’ menggunakan dialek bahasa Arab setempat dengan sangat lancar dan fasih. 

    “Saya datang mewakili saudara saya, Salman, untuk melamar putri anda,” lanjut Abu Darda’ kepada wali si wanita, menjelaskan maksud kedatangan mereka. 

    Mendengarnya, si tuan rumah merasa terhormat. Tentu saja, ia kedatangan dua orang sahabat Rasulullah yang utama. Salah satunya bahkan berkeinginan melamar putrinya. “Sebuah kehormatan bagi kami menerima shabat Rasulullah yang mulia. Sebuah kehormatan pula bagi keluarga kami jika memiliki menantu dari kalangan shahabat,” ujar ayah si wanita.

    Namun sang ayah tidaklah kemudian segera menerimanya. Seperti yang diajarkan Rasulullah, ia harus bertanya pendapat putrinya mengenai lamaran tersebut. Meski yang datang adalah seorang shahabat Rasul, sang ayah tetap meminta persetujuan sang putrid.

    “Jawaban lamaran ini merupakan hak putri kami sepenuhnya. Oleh karena itu, saya serahkan kepada putri kami,” ujarnya kepada Abu Darda’ dan Salman AL Farisi.

    Sang tuan rumah pun kemudian memberikan isyarat kepada istri dan putrinya yang berada dibalik hijab. Rupanya, putrinya telah menanti memberikan pendapatnya mengenai pria yang melamarnya. Mewakili sang putrid, ibunya pun berkata, “Mohon maaf kami perlu berterus terang,” ujarnya membuat Salman dan Abu Darda’ tegang menanti jawaban.

    “Maaf atas keterusterangan kami. Putri kami menolak lamaran Salman,” jawab ibu si wanita tentu saja akan menghancurkan hati Salman. Namun Salman tegar. 

    Tak sampai disitu, sang ibunda melanjutkan jawaban putrinya, “Namun karena kalian berdua lah yang datang, dan mengharap ridha Allah, saya ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika Abu Darda’ memiliki keinginan yang sama seperti Salman,” kata ibu si wanita shalihah idaman Salman, wanita yang Salman inginkan untukmenjadi istrinya, wanita yang karenanya ia meminta bantuan Abu Darda’ untuk membantu pinangannya. Namun justru wanita itu memilih Abu Darda’, yang hanya menemani Salman.

    Jika seperti pria pada umumnya, maka hati Salman pasti hancur berkeping-keeping. Ia akan merasakan patah hati yang teramat sangat. Namun Salman merupakan pria shaleh, seorang mulia dari kalangan shahabat Rasulullah. Dengan ketegaran hati yang luar biasa, ia justru menjawab, “Allahu akbar!” seru Salman girang.

    Tak hanya itu, Salman justru menawarkan bantuan untuk pernikahan keduanya. Tanpa perasaan hati yang hancur, ia memberikan semua harta benda yang ia siapkan untuk menikahi si wanita itu. “Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan akan kuberikan semua kepada Abu Darda’. Aku juga ajan menjadi saksi pernikahan kalian,” ujar Salman dengan kelapangan hati yang begitu hebat.

    Demikian kisah cinta shabat Rasulullah yang mulia, Salman Al Farisi. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah tersebut. Ketegaran hati Salman patut dijadikan uswah. Ia pun tak kecewa dengan apa yang belum ia miliki meski ia sangat menginginkannya. Smoga Allah meridhai Salman dan menempatkannya pada surga yang tertinggi.

    Republika.co.id

    "Katakanlah: 'Berjalanlah di muka bumi!"

    Di antara perkara yang dapat melapangkan dada dan melenyapkan awan kesedihan dan kesusahan adalah berjalan menjelajah negeri dan membaca "buku penciptaan" yang terbuka lebar ini untuk menyaksikan bagaimana pena-pena kekuasaan menuliskan tanda-tanda keindahan di atas lembaran-lembaran kehidupan. Betapa tidak, karena Anda akan banyak menyaksikan taman, kebun, sawah dan bukit -bukit hijau yang indah mempesona.
    Keluarlah dari rumah, lalu perhatikan apa yang ada di sekitar Anda, di depan mata Anda, dan di belakang Anda! Dakilah gunung-gunung, jamahlah tanah di lembah-lembah, panjatlah batang-batang pepohonan,
    reguklah air yang jernih, dan ciumkan hidungmu atas bunga mawar! Pada saat-saat yang demikian itu, Anda akan menemukan jiwa Anda benar-benar merdeka dan bebas seperti burung yang berkicau melafalkan tasbih di angkasa kebahagiaan. Keluarlah dari rumah Anda, tutup kedua mata Anda dengan kain hitam, kemudian berjalanlah di bumi Allah yang sangat luas ini dengan senantiasa berdzikir dan bertasbih.
    Mengurung diri dalam kamar yang sunyi bersama kekosongan yang membahayakan merupakan cara ampuh untuk bunuh diri. Kamar Anda bukanlah alam semesta. Dan Anda bukan manusia satu-satunya di alam ini. Karena itu, mengapa Anda harus menyerahkan diri kepada "pembisik-pembisik" kesusahan dan kesedihan? Tidakkah Anda sebaiknya menyatukan pandangan, pendengaran dan hati untuk menyeru kepada diri Anda
    sendiri, {Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun berat.} (QS. At-Taubah: 41)
    Marilah sekali-kali kita membaca al-Qur'an di tepi-tepi sungai, di pinggiran hutan yang rimbun, di antara burung-burung yang sedang berkicau membaca untaian puisi cinta, atau di depan gemericik aliran air sungai
    yang sedang mengisahkan perjalanannya dari dari hulu ke hilir. Menjelajahi pelosok-pelosok negeri merupakan kegiatan yang sangat menyenangkan. Bahkan, para dokter sudah banyak merekomendasikan kepada mereka yang sedang stres menghadapi suatu persoalan dan tertekan oleh beratnya beban hidup, agar melepaskan semua itu dengan berjalan ke tempat-tempat indah yang tak pernah ia kunjungi. Karena itu, marilah sesekali kita berjalan menjelajah pelosok negeri untuk mencari ketenangan, bergembira, berpikir, dan sekaligus menghayati ciptaan Allah yang sangat luas ini.
    {Dan, mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Rabb kami tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau."}
    (QS. Ali 'Imran: 191)

    La Tahzan, Aidh Al-Qarni

    Orang-Orang Yang Di Doakan Malaikat

    Allah SWT berfirman, “Sebenarnya (malaikat – malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan, mereka tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah – perintah-Nya. Allah mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka dan yang dibelakang mereka, dan mereka tidak memberikan syafa’at melainkan kepada orang – orang yang diridhai Allah, dan mereka selalu berhati – hati karena takut kepada-Nya” (QS Al Anbiyaa’ 26-28)

    Inilah orang – orang yang didoakan oleh para malaikat :

    1. Orang yang tidur dalam keadaan bersuci. Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa ‘Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci’” (hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/37)

    2. Orang yang duduk menunggu shalat. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah salah seorang diantara kalian yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya ‘Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia’” (Shahih Muslim no. 469)

    3. Orang – orang yang berada di shaf bagian depan di dalam shalat. Imam Abu Dawud (dan Ibnu Khuzaimah) dari Barra’ bin ‘Azib ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang – orang) yang berada pada shaf – shaf terdepan” (hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud I/130)

    4. Orang – orang yang menyambung shaf (tidak membiarkan sebuah kekosongan di dalm shaf). Para Imam yaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim meriwayatkan dari Aisyah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada orang – orang yang menyambung shaf – shaf” (hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/272
    )
    5. Para malaikat mengucapkan ‘Amin’ ketika seorang Imam selesai membaca Al Fatihah. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jika seorang Imam membaca ‘ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladh dhaalinn’, maka ucapkanlah oleh kalian ‘aamiin’, karena barangsiapa ucapannya itu bertepatan dengan ucapan malaikat, maka ia akan diampuni dosanya yang masa lalu” (Shahih Bukhari no. 782)

    6. Orang yang duduk di tempat shalatnya setelah melakukan shalat. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Para malaikat akan selalu bershalawat kepada salah satu diantara kalian selama ia ada di dalam tempat shalat dimana ia melakukan shalat, selama ia belum batal wudhunya, (para malaikat) berkata, ‘Ya Allah ampunilah dan sayangilah ia’” (Al Musnad no. 8106, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkan hadits ini)

    7. Orang – orang yang melakukan shalat shubuh dan ‘ashar secara berjama’ah. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Para malaikat berkumpul pada saat shalat shubuh lalu para malaikat ( yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga shubuh) naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal. Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat ‘ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat ‘ashar) naik (kelangit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka, ‘Bagaimana kalian meninggalkan hambaku ?’, mereka menjawab, ‘Kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat’” (Al Musnad no. 9140, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir)

    8. Orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummud Darda’ ra., bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, “Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata ‘aamiin dan engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan’” (Shahih Muslim no. 2733)

    9. Orang – orang yang berinfak. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak satu hari pun dimana pagi harinya seorang hamba ada padanya kecuali 2 malaikat turun kepadanya, salah satu diantara keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak’. Dan lainnya berkata, ‘Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang pelit’” (Shahih Bukhari no. 1442 dan Shahih Muslim no. 1010)

    10. Orang yang makan sahur. Imam Ibnu Hibban dan Imam Ath Thabrani, meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang – orang yang makan sahur” (hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhiib wat Tarhiib I/519)

    11. Orang yang menjenguk orang sakit. Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang mukmin menjenguk saudaranya kecuali Allah akan mengutus 70.000 malaikat untuknya yang akan bershalawat kepadanya di waktu siang kapan saja hingga sore dan diwaktu malam kapan saja hingga shubuh” (Al Musnad no. 754, Syaikh Ahmad Syakir berkomentar, “Sanadnya shahih”)

    12. Seseorang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain. Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahily ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas seorang yang paling rendah diantara kalian. Sesungguhnya penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang di dalam lubangnya dan bahkan ikan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain” (dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Kitab Shahih At Tirmidzi II/343)

    Orang – orang yang Didoakan Malaikat, Syaikh Fadhl Ilahi,

    Pemimpin Pulang


    Empat cara pulang bagi Pemimpin dari Perjuangan.

    Dia pulang dengan kepala tegak, membawa hasil perjuangan.

    Dia pulang dengan kepala tegak, tapi tangan di belenggu musuh untuk calon penghuni terungku, atau lebih dari itu, riwayatnya akan menjadi pupuk penyubur tanah Perjuangan bagi para Mujahidin seterusnya.

    Dia pulang. Tapi yang pulang hanya namanya. Jasadnya sudah tinggal di Medan Jihad.
    Sebenarnya, di samping namanya, juga turut pulang ruhnya yang hidup dan menghidupkan ruh umat sampai tahun berganti musim, serta mengilhami para pemimpin yang akan tinggal di belakangnya.

    Dia pulang dengan tangan ke atas, kepalanya terkulai, hatinya menyerah kecut kepada musuh yang memusuhi Allah dan Rasul. Yang pulang itu jasadnya, yang satu kali juga akan hancur. Nyawanya mematikan ruh umat buat zaman yang panjang
    Entah pabila umat itu akan bangkit kembali, mungkin akan diatur oleh Ilahi dengan umat yang lain,
    yang lebih baik, nanti Ia “Pemimpin” dengan tanda kutip.

    Adakalanya ada nakhoda berpirau melawan arus.
    Tapi berpantang ia bertukar haluan, berbalik arah.
    Ia belum pulang.

    MOHAMAD NATSIR
    MEDAN DJIHAD, 24 AGUSTUS 1961 M/
    MAULID 1381 H.
    Pemimpin Pemandu Umat, Taushiyah Dakwah Pemandu Umat, M. Natsir
     

    Blogger news

    Blogroll