Labels

Amal yang Tetap Bermakna
K.H. Abdullah Gymnastiar

Berhati-hatilah bagi orang-orang yang ibadahnya temporal, karena bisa jadi perbuatan tersebut merupakan tanda-tanda keikhlasannya belum sempurna. Karena aktivitas ibadah yang dilakukan secara temporal tiada lain, ukurannya adalah urusan duniawi. Ia hanya akan dilakukan kalau sedang butuh, sedang dilanda musibah, atau sedang disempitkan oleh ujian dan kesusahan, meningkatlah amal ibadahnya. Tidak demikian halnya ketika pertolongan ALLOH datang, kemudahan menghampiri, kesenangan berdatangan, justru kemampuannya bersenang-senangnya bersama ALLOH malah menghilang.
Bagi yang amalnya temporal, ketika menjelang pernikahan tiba-tiba saja ibadahnya jadi meningkat, shalat wajib tepat waktu, tahajud nampak khusu, tapi anehnya ketika sudah menikah, jangankan tahajud, shalat subuh pun terlambat. Ini perbuatan yang memalukan. Sudah diberi kesenangan, justru malah melalaikan perintah-Nya. Harusnya sesudah menikah berusaha lebih gigih lagi dalam ber-taqarrub kepada ALLOH sebagai bentuk ungkapan rasa syukur.
Ketika berwudhu, misalnya, ternyata disamping ada seorang ulama yang cukup terkenal dan disegani, wudhu kita pun secara sadar atau tidak tiba-tiba dibagus-baguskan. Lain lagi ketika tidak ada siapa pun yang melihat, wudhu kitapun kembali dilakukan dengan seadanya dan lebih dipercepat.
Atau ketika menjadi imam shalat, bacaan Quran kita kadangkala digetar-getarkan atau disedih-sedihkan agar orang lain ikut sedih. Tapi sebaliknya ketika shalat sendiri, shalat kita menjadi kilat, padat, dan cepat. Kalau shalat sendirian dia begitu gesit, tapi kalau ada orang lain jadi kelihatan lebih bagus. Hati-hatilah bisa jadi ada sesuatu dibalik ketidakikhlasan ibadah-ibadah kita ini. Karenanya kalau melihat amal-amal yang kita lakukan jadi melemah kualitas dan kuantitasnya ketika diberi kesenangan, maka itulah tanda bahwa kita kurang ikhlas dalam beramal.
Hal ini berbeda dengan hamba-hamba-Nya yang telah menggapai maqam ikhlas, maqam dimana seorang hamba mampu beribadah secara istiqamah dan terus-menerus berkesinambungan. Ketika diberi kesusahan, dia akan segera saja bersimpuh sujud merindukan pertolongan ALLOH. Sedangkan ketika diberi kelapangan dan kesenangan yang lebih lagi, justru dia semakin bersimpuh dan bersyukur lagi atas nikmat-Nya ini.
Orang-orang yang ikhlas adalah orang yang kualitas beramalnya dalam kondisi ada atau tidak ada orang yang memperhatikannya adalah sama saja. Berbeda dengan orang yang kurang ikhlas, ibadahnya justru akan dilakukan lebih bagus ketika ada orang lain memperhatikannya, apalagi bila orang tersebut dihormati dan disegani.
Sungguh suatu keberuntungan yang sangat besar bagi orang-orang yang ikhlas ini. Betapa tidak? Orang-orang yang ikhlas akan senantiasa dianugerahi pahala, bahkan bagi orang-orang ikhlas, amal-amal mubah pun pahalanya akan berubah jadi pahala amalan sunah atau wajib. Hal ini akibat niatnya yang bagus.
Maka, bagi orang-orang yang ikhlas, dia tidak akan melakukan sesuatu kecuali ia kemas niatnya lurus kepada ALLOH saja. Kalau hendak duduk di kursi diucapkannya, "Bismilahirrahmanirrahiim, ya ALLOH semoga aktivitas duduk ini menjadi amal kebaikan". Lisannya yang bening senantiasa memuji ALLOH atas nikmatnya berupa karunia bisa duduk sehingga ia dapat beristirahat menghilangkan kepenatan. Jadilah aktivitas duduk ini sarana taqarrub kepada ALLOH.
Karena banyak pula orang yang melakukan aktivitas duduk, namun tidak mendapatkan pertambahan nilai apapun, selain menaruh [maaf!] pantat di kursi. Tidak usah heran bila suatu saat ALLOH memberi peringatan dengan sakit ambaien atau bisul, sekedar kenang-kenangan bahwa aktivitas duduk adalah anugerah nikmat yang ALLOH karuniakan kepada kita.
Begitupun ketika makan, sempurnakan niat dalam hati, sebab sudah seharusnya di lubuk hati yang paling dalam kita meyakini bahwa ALLOH-lah yang memberi makan tiap hari, tiada satu hari pun yang luput dari limpahan curahan nikmatnya.
Kalau membeli sesuatu, perhitungkan juga bahwa apa yang dibeli diniatkan karena ALLOH. Ketika membeli kendaraan, niatkan karena ALLOH. Karena menurut Rasulullah SAW, kendaraan itu ada tiga jenis, 1) Kendaraan untuk ALLOH, 2) Kendaraan untuk setan, 3) Kendaraan untuk dirinya sendiri. Apa cirinya? Kalau niatnya benar, dipakai untuk maslahat ibadah, maslahat agama, maka inilah kendaraan untuk ALLOH. Tapi kalau sekedar untuk pamer, ria, ujub, maka inilah kendaraan untuk setan. Sedangkan kendaraan untuk dirinya sendiri, misakan kuda dipelihara, dikembangbiakan, dipakai tanpa niat, maka inilah kendaran untuk diri sendiri.
Pastikan bahwa jikalau kita membeli kendaraan, niat kita tiada lain hanyalah karena ALLOH. Karenanya bermohon saja kepada ALLOH, "Ya ALLOH saya butuh kendaraan yang layak, yang bisa meringankan untuk menuntut ilmu, yang bisa meringankan untuk berbuat amal, yang bisa meringankan dalam menjaga amanah". Subhanallah bagi orang yang telah meniatkan seperti ini, maka, bensinnya, tempat duduknya, shockbreaker-nya, dan semuanya dari kendaraan itu ada dalam timbangan kebaikan, insya ALLOH. Sebaliknya jika digunakan untuk maksiyat, maka kita juga yang akan menanggungnya.
Kedahsyatan lain dari seorang hamba yang ikhlas adalah akan memperoleh pahala amal, walaupun sebenarnya belum menyempurnakan amalnya, bahkan belum mengamalkanya. Inilah istimewanya amalan orang yang ikhlas. Suatu saat hati sudah meniatkan mau bangun malam untuk tahajud, "Ya ALLOH saya ingin tahajud, bangunkan jam 03. 30 ya ALLOH". Weker pun diputar, istri diberi tahu, "Mah, kalau mamah bangun duluan, bangunkan Papah. Jam setengah empat kita akan tahajud. Ya ALLOH saya ingin bisa bersujud kepadamu di waktu ijabahnya doa". Berdoa dan tidurlah ia dengan tekad bulat akan bangun tahajud.
Sayangnya, ketika terbangun ternyata sudah azan subuh. Bagi hamba yang ikhlas, justru dia akan gembira bercampur sedih. Sedih karena tidak kebagian shalat tahajud dan gembira karena ia masih kebagian pahalanya. Bagi orang yang sudah berniat untuk tahajud dan tidak dibangunkan oleh ALOH, maka kalau ia sudah bertekad, ALLOH pasti akan memberikan pahalanya. Mungkin ALLOH tahu, hari-hari yang kita lalui akan menguras banyak tenaga. ALLOH Mahatahu apa yang akan terjadi, ALLOH juga Mahatahu bahwa kita mungkin telah defisit energi karena kesibukan kita terlalu banyak. Hanya ALLOH-lah yang menidurkan kita dengan pulas.
Sungguh apapun amal yang dilakukan seorang hamba yang ikhlas akan tetap bermakna, akan tetap bernilai, dan akan tetap mendapatkan balasan pahala yang setimpal. Subhanallah. ***
Bila Selalu Mengingat Mati
K.H. Abdullah Gymnastiar

Sehalus-halus kehinaan di sisi ALLOH adalah tercerabutnya kedekatan kita dari sisi-Nya. Hal ini biasanya ditandai dengan kualitas ibadah yang jauh dari meningkat, atau bahkan malah menurun. Tidak bertambah bagus ibadahnya, tidak bertambah pula ilmu yang dapat membuatnya takut kepada ALLOH, bahkan justru maksiat pun sudah mulai dilakukan, dan anehnya yang bersangkutan tidak merasa rugi. Inilah tanda-tanda akan tercerabutnya nikmat berdekatan bersama ALLOH Azza wa Jalla.
Pantaslah bila Imam Ibnu Athoillah pernah berujar, "Rontoknya iman ini akan terjadi pelan-pelan, terkikis-kikis sedikit demi sedikit sampai akhirnya tanpa terasa habis tandas tidak tersisa". Demikianlah yang terjadi bagi orang yang tidak berusaha memelihara iman di dalam kalbunya. Karenanya jangan pernah permainkan nikmat iman di hati ini.
Ada sebuah kejadian yang semoga dengan diungkapkannya di forum ini ada hikmah yang bisa diambil. Kisahnya dari seorang teman yang waktu itu nampak begitu rajin beribadah, saat shalat tak lepas dari linang air mata, shalat tahajud pun tak pernah putus, bahkan anak dan istrinya diajak pula untuk berjamaah ke mesjid. Selidik punya selidik, ternyata saat itu dia sedang menanggung utang. Karenanya diantara ibadah-ibadahnya itu dia selipkan pula doa agar utangnya segera terlunasi. Selang beberapa lama, ALLOH Azza wa Jalla, Zat yang Mahakaya dan Maha Mengabulkan setiap doa hamba-Nya pun berkenan melunasi utang rekan tersebut.
Sayangnya begitu utang terlunasi doanya mulai jarang, hilang pula motivasinya untuk beribadah. Biasanya kehilangan shalat tahajud menangis tersedu-sedu, "Mengapa Engkau tidak membangunkan aku, ya ALLOH?!", ujarnya seakan menyesali diri. Tapi lama-kelamaan tahajud tertinggal justru menjadi senang karena jadual tidur menjadi cukup. Bahkan sebelum azan biasanya sudah menuju mesjid, tapi akhir-akhir ini datang ke mesjid justru ketika azan. Hari berikutnya ketika azan tuntas baru selesai wudhu. Lain lagi pada besok harinya, ketika azan selesai justru masih di rumah, hingga akhirnya ia pun memutuskan untuk shalat di rumah saja.
Begitupun untuk shalat sunat, biasanya ketika masuk mesjid shalat sunat tahiyatul mesjid terlebih dulu dan salat fardhu pun selalu dibarengi shalat rawatib. Tapi sekarang saat datang lebih awal pun malah pura-pura berdiri menunggu iqamat, selalu ada saja alasannya. Sesudah iqamat biasanya memburu shaf paling awal, kini yang diburu justru shaf paling tengah, hari berikutnya ia memilih shaf sebelah pojok, bahkan lama-lama mencari shaf di dekat pintu, dengan alasan supaya tidak terlambat dua kali. "Kalau datang terlambat, maka ketika pulang aku tidak boleh terlambat lagi, pokoknya harus duluan!" Pikirnya.
Saat akan shalat sunat rawatib, ia malah menundanya dengan alasan nanti akan di rumah saja, padahal ketika sampai di rumah pun tidak dikerjakan. Entah disadari atau tidak oleh dirinya, ternyata pelan-pelan banyak ibadah yang ditinggalkan. Bahkan pergi ke majlis ta'lim yang biasanya rutin dilakukan, majlis ilmu di mana saja dikejar, sayangnya akhir-akhir ini kebiasaan itu malah hilang.
Ketika zikir pun biasanya selalu dihayati, sekarang justru antara apa yang diucapkan di mulut dengan suasana hati, sama sekali bak gayung tak bersambut. Mulut mengucap, tapi hati malah keliling dunia, masyaallah. Sudah dilakukan tanpa kesadaran, seringkali pula selalu ada alasan untuk tidak melakukannya. Saat-saat berdoa pun menjadi kering, tidak lagi memancarkan keuatan ruhiah, tidak ada sentuhan, inilah tanda-tanda hati mulai mengeras.
Kalau kebiasaan ibadah sudah mulai tercerabut satu persatu, maka inilah tanda-tanda sudah tercerabutnya taupiq dari-Nya. Akibat selanjutnya pun mudah ditebak, ketahanan penjagaan diri menjadi blong, kata-katanya menjadi kasar, mata jelalatan tidak terkendali, dan emosinya pun mudah membara. Apalagi ketika ibadah shalat yang merupakan benteng dari perbuatan keji dan munkar mulai lambat dilakukan, kadang-kadang pula mulai ditinggalkan. Ibadah yang lain nasibnya tak jauh beda, hingga akhirnya meningallah ia dalam keadaan hilang keyakinannya kepada ALLOH. Inilah yang disebut suul khatimah (jelek di akhir), naudzhubillah. Apalah artinya hidup kalau akhirnya seperti ini.
***
Ada lagi sebuah kisah pilu ketika suatu waktu bersilaturahmi ke Batam. Kisahnya ada seorang wanita muda yang tidak bisa menjaga diri dalam pergaulan dengan lawan jenisnya sehingga dia hamil, sedangkan laki-lakinya tidak tahu entah kemana (tidak bertanggung jawab). Hampir putus asa ketika si wanita ini minta tolong kepada seorang pemuda mesjid. Ditolonglah ia untuk bisa melakukan persalinan di suatu klinik bersalin, hingga ia bisa melahirkan dengan lancar. Walau tidak jelas siapa ayahnya, akhirnya si wanita ini pun menjadi ibu dari seorang bayi mungil.
Sayangnya, sesudah beberapa lama ditolong, sifat-sifat jahiliyahnya kambuh lagi. Mungkin karena iman dan ilmunya masih kurang, bahkan ketika dinasihati pun tidak mempan lagi hingga akhirnya dia terjerumus lagi. Demikianlah kisah si wanita ini, ia kembali hamil di luar nikah tanpa ada pria yang mau bertanggung jawab.
Lalu ditolonglah ia oleh seseorang yang ternyata aqidahnya beda. Si orang yang akan membantu pun menawarkan bantuan keuangan dengan catatan harus pindah agama terlebih dulu. Si wanita pun menyetujuinya, dalam hatinya "Toh hanya untuk persalinan saja, setelah melahirkan aku akan masuk Islam lagi". Tapi ternyata ALLOH menentukan lain, saat persalinan itu justru malaikat Izrail datang menjemput, meninggalah si wanita dalam keadaan murtad, naudzhubillah.
***
Cerita ini nampaknya bersesuaian pula dengan sebuah kisah klasik dari Imam Al Ghazali.
Suatu ketika ada seseorang yang sudah bertahun-tahun menjadi muazin di sebuah menara tinggi di samping mesjid. Kebetulan di samping mesjid itu adapula sebuah rumah yang ternyata dihuni oleh keluarga non-muslim, diantara anak-anak keluarga itu ada seorang anak perempuan berparas cantik yang sedang berangkat ramaja.
Tiap naik menara untuk azan, secara tidak disengaja tatapan mata sang muazin selalu tertumbuk pada si anak gadis ini, begitu pula ketika turun dari menara. Seperti pepatah mengatakan "dari mata rurun ke hati", begitulah saking seringnya memandang, hati sang muazin pun mulai terpaut akan paras cantik anak gadis ini. Bahkan saat azan yang diucapkan di mulut Allahuakbar-Allahuakbar, tapi hatinya malah khusyu memikirkan anak gadis itu.
Karena sudah tidak tahan lagi, maka sang muazin ini pun nekad mendatangi rumah si anak gadis tersebut dengan tujuan untuk melamarnya. Hanya sayang, orang tua si anak gadis menolak dengan mentah-mentah, apalagi jika anaknya harus pindah keyakinan karena mengikuti agama calon suaminya, sang muazin yang beragama Islam itu. "Selama engkau masih memeluk Islam sebagai agamamu, tidak akan pernah aku ijinkan anakku menjadi istrimu" ujar si Bapak, seolah-olah memberi syarat agar sang muazin ini mau masuk agama keluarganya terlebih dulu.
Berpikir keraslah sang muazin ini, hanya sayang, saking ngebetnya pada gadis ini, pikirannya seakan sudah tidak mampu lagi berpikir jernih. Hingga akhirnya di hatinya terbersit suatu niat, "Ya ALLOH saya ini telah bertahun-tahun azan untuk mengingatkan dan mengajak manusia menyembah-Mu. Aku yakin Engkau telah menyaksikan itu dan telah pula memberikan balasan pahala yang setimpal. Tetapi saat ini aku mohon beberapa saat saja ya ALLOH, aku akan berpura-pura masuk agama keluarga si anak gadis ini, setelah menikahinya aku berjanji akan kembali masuk Islam". Baru saja dalam hatinya terbersit niat seperti itu, dia terpeleset jatuh dari tangga menara mesjid yang cukup tinggi itu. Akhirnya sang muazin pun meninggal dalam keadaan murtad dan suul khatimah.
***
Kalau kita simak dengan seksama uraian-uraian kisah di atas, nampaklah bahwa salah satu hikmah yang dapat kita ambil darinya adalah jikalau kita sedang berbuat kurang bermanfaat bahkan zhalim, maka salah satu teknik mengeremnya adalah dengan 'mengingat mati'. Bagaimana kalau kita tiba-tiba meninggal, padahal kita sedang berbuat maksiat, zhalim, atau aniaya? Tidak takutkah kita mati suul khatimah? Naudzhubillah. Ternyata ingat mati menjadi bagian yang sangat penting setelah doa dan ikhtiar kita dalam memelihara iman di relung kalbu ini. Artinya kalau ingin meninggal dalam keadaan khusnul khatimah, maka selalulah ingat mati.
Dalam hal ini Rasulullah SAW telah mengingatkan para sahabatnya untuk selalu mengingat kematian. Dikisahkan pada suatu hari Rasulullah keluar menuju mesjid. Tiba-tiba beliau mendapati suatu kaum yangsedang mengobrol dan tertawa. Maka beliau bersabda, "Ingatlah kematian. Demi Zat yang nyawaku berada dalam kekuasaan-Nya, kalau kamu mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan tertawa sedikit dan banyak menangis."
Dan ternyata ingat mati itu efektif membuat kita seakan punya rem yang kokoh dari berbuat dosa dan aniaya. Akibatnya dimana saja dan kapan saja kita akan senantiasa terarahkan untuk melakukan segala sesuatu hanya yang bermanfaat. Begitupun ketika misalnya, mendengarkan musik ataupun nyanyian, yang didengarkan pasti hanya yang bermanfaat saja, seperti nasyid-nasyid Islami atau bahkan bacaan Al Quran yang mengingatkan kita kepada ALLOH Azza wa Jalla. Sehingga kalaupun malaikat Izrail datang menjemput saat itu, alhamdulillah kita sedang dalam kondisi ingat kepada ALLOH. Inilah khusnul khatimah.
Bahkan kalau kita lihat para arifin dan salafus shalih senantiasa mengingat kematian, seumpama seorang pemuda yang menunggu kekasihnya. Dan seorang kekasih tidak pernah melupakan janji kekasihnya. Diriwayatkan dari sahabat Hudzaifah r.a. bahwa ketika kematian menjemputnya, ia berkata, "Kekasih datang dalam keadaan miskin. Tiadalah beruntung siapa yang menyesali kedatangannya. Ya ALLOH, jika Engkau tahu bahwa kefakiran lebih aku sukai daripada kaya, sakit lebih aku sukai daripada sehat, dan kematian lebih aku sukai daripada kehidupan, maka mudahkanlah bagiku kematian sehingga aku menemui-Mu."
Akhirnya, semoga kita digolongkan ALLOH SWT menjadi orang yang beroleh karunia khusnul khatimah. Amin! ***
Sebelum Meninggal Dia Mengatakan, "Aku Mencium Bau Surga!" 

Dalam sebuah hadits yang terdapat dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, "Ada tujug golongan orang yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari tiada naungan seleain dari naunganNya... di antaranya, seorang pemuda yang tumbuh dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah."

Dalam sebuah hadits shahih dari Anas bin an-Nadhir ra, ketika perang Uhud ia berkata, "Wah... angin Surga, sungguh aku mencium bau Surga yang berasal dari balik gunung Uhud."
ilustasiSeorang Dokter bercerita kepadaku, Pihak rumah sakit menghubungiku dan memberitahukan bahwa ada seorang pasien dalam keadaan kritis sedang dirawat. Ketika aku sampai, ternyata seorang pemuda yang sudah meninggal -semoga Allah merahmatinya. Lantas bagaimana detail kisah wafatnya. Setiap hari puluhan bahkan ribuan orang meninggal. Namun bagaimana keadaan mereka ketika wafat? Dan bagaimana pula dengan akhir hidupnya?
Pemuda ini terkena peluru nyasar, dengan segera kedua orang tuanya -semoga Allah membalas kebaikan mereka- melarikannya ke rumah sakit militer di Riyadh. Di tengah perjalanan, pemuda itu menoleh kepada ibu bapaknya dan sempat berbicara. Tetapi apa yang ia katakan? Apakah ia menjerit atau mengerang sakit? Atau menyuruh agar segera sampai ke rumah sakit? Ataukah marah dan jengkel? Atau apa?
Orang tuanya mengisahkan bahwa anaknya tersebut mengatakan kepada mereka. "Jangan khawatir! Saya akan meninggal... tenanglah... sesungguhnya aku mencium bau Surga!" Tidak hanya sampai di sini saja, bahkan ia mengulang-ulang kalimat trsebut di hadapan para dokter yang sedang merawatnya, ia berkata kepada mereka, "Wahai saudara-saudara, aku akan mati, janganlah kalian menyusahkan diri sendiri... karena sekarang aku mencium bau Surga."
Kemudian ia meminta kedua orang tuanya agar mendekat lalu mencium keduanya dan meminta maaf atas segala kesalahannya. Kemudian ia mengucapkan salam kepada saudara-saudaranya dan mengucapkan dua kalimat syahadat, "Asyhadu alla ilaha illAllah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah". Ruhnya melyang kepada Sang Pencipta.
Allohu Akbar... Apa yang harus kukatakan dan apa yang harus aku komentari... semua kalimat tidak mampu terucap... dan pena telah kering di tangan... aku tidak kuasa apa-apa kecuali hanya mengulang-ulang firman Allah.
"Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh dalam kehidupan di dunia dan di akhirat." (QS. Ibrahim [14] : 27)
Tidak ada yang perlu dikomentari lagi. Ia melanjutkan kisahnya. Mereka membawanya untuk dimandikan. Maka ia dimandikan oleh saudaranya Dhiya' di tempat memandikan mayat yang ada di rumah sakit tersebut. Petugas itu melihat beberapa keanehan yang terkahir. Sebagaimana yang telah ia ceritakan sesuah shalat Magrib pada hari yang sama.
1. Ia melihat dahinya berkeringat. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya seorang mukmin meninggal dengan dahi berkeringat." Ini merupakan tanda-tanda khusnul khatimah.
2. Ia katakan tangan jenazahnya lunak demikian juga para persendiannya seakan-akan dia belum mati. Masih mempunyai panas badan yang belum pernah ia jumpai sebelumnya semenjak ia bertugas memandikan mayat. Padahal tubuh rang yang sudah meninggal itu dingin, kering dan kaku.
3. Telapak tangan kanannya seperti seorang yang membaca tasyahud yang mengacungkan jari telunjuknya mengisyaratkan ketauhidan dan persaksiannya, sementara jari-jari yang lain ia genggam.
Subhanalloh...sungguh indah kematian seperti ini. Kita mohon semoga Alloh menganugerahkan kita husnul khatimah.
Saudara-saudaraku tercinta... kisah belum selesai... saudara Dhiya' bertanya kepada salah seorang pamannya, apa yang biasa ia lakukan semasa hidupnya? Tahukah anda apa jawabannya?
Apakah anda kira ia menghabiskan malamnya dengan berjalan-jalan di jalan raya? Atau duduk di depan televisi untuk menyaksikan hal-hal yang terlarang? Atau ia tidur pulas hingga terluput mengerjakan shalat? Atau sedang meneguk khamr, narkoba dan rokok? Menurut anda apa yang telah ia kerjakan? Mengapa ia mendapatkan husnul khatimah yang aku yakin bahwa saudara pembaca pun mengidam-idamkan; meninggal dengan mencium bau Surga.
Ayahnya berkata, "Ia selalu bangun dan melaksanakan shalat malam sesanggupnya. Ia juga membangunkan keluarga dan seisi rumah agar dapar melaksakan shalat Shubuh berjamaah. Ia gemar menghafal al-Qur'an dan termasuk salah seorang siswa yang berprestasi di SMU."
Aku katakan, "Maha benar Alloh yang berfirman, 'Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, "Rabb kami ialah Alloh" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu sedih dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) Surga yang telah dijanjikan kepadamu" Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari (Rabb) Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang'." (QS. Fushshilat [41] : 30-32)
(Serial Kisah Teladan; Muhammad bin Shalih Al-Qahthani)

Kunci pengokoh jiwa

KUNCI PENGOKOH JIWA
K.H. Abdullah Gymnastiar



1.      SIAP
Senantiasa menyadari bahwa hidup di dunia ini hanya satu kali sehingga aku tidak boleh gagal dan sia-sia tanpa guna.
Ikhtiar yang disertai niat yang sempurna itulah tugasku, perkara apapun yang terjadi kuserahkan sepenuhnya  kepada Allah Yang Maha Tahu yang terbaik bagiku.
Aku harus sadar betul bahwa yang terbaik bagiku menurutku belum tentu terbaik bagiku menurut Allah, bahkan mungkin aku terkecoh oleh keinginan harapanku sendiri.
Pengetahuanku tentang diriku atau tentang apapun amat terbatas sedangkan pengetahuan Allah menyelimuti segalanya. Sehingga betapapun aku sangat menginginkan sesuatu, tetapi hatiku harus kupersiapkan untuk menghadapi kenyataan yang tak sesuai dengan harapanku. Karena mungkin itulah yang terbaik bagiku.
2.      RELA
Realitas yang terjadi yaa... inilah kenyataan dan episode hidup yang harus kujalani.
Emosional, sakit hati, dongkol, atau apapun yang membuat hatiku menjadi kecewa dan sengsara harus segera kutinggalkan karena dongkol begini, tidak dongkol juga tetap begini. Lebih baik aku menikmati apa adanya.
Lubuk hatiku harus realistis menerima kenyataan yang ada, namun tubuh dan pikiranku harus tetap bekerja keras mengatasi dan menyelesaikan masalah ini.
Apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur. Maka yang harus kulakukan adalah mencari ayam, cakweh, kacang polong, kecap, seledri, bawang goreng dan sambal agar bubur ayam spesial tetap dapat kunikmati.
3.      MUDAH
Meyakini bahwa hidup ini bagai siang dan malam yang pasti silih berganti. Tak mungkin siang terus menerus dan tak mungkin juga malam terus menerus. Pasti setiap kesenangan ada ujungnya begitupun masalah yang menimpaku pasti ada akhirnya. Aku harus sangat sabar menghadapinya.
Ujian yang diberikan oleh Allah Yang Maha Adil pasti sudah diukur dengan sangat cermat sehingga tak mungkin melampaui batas kemampuanku, karena ia tak pernah menzhalimi hamba-hamba-Nya.
Dengan pikiran buruk aku hanya semakin mempersulit dan menyengsarakan diri. Tidak,  aku tidak boleh menzhalimi diiku sendiri. Pikiranku harus tetap jernih, terkendali, tenang dan proporsional. Aku tak boleh terjebak mendramatisir masalah.
Aku harus berani menghadapi persoalan demi persoalan. Tak boleh lari dari kenyataan, karena lari sama sekali tak menyelesaikan bahkan sebaliknya hanya menambah permasalahan. Semua harus tegar kuhadapi dengan baik, aku tak boleh menyerah, aku tak boleh kalah.
Harusnya segala sesuatu itu ada akhirnya. Begitu pun persoalan yang kuhadapi, seberat apapun seperti yang dijanjikan Allah “Fa innama’al usri yusran, inna ma’al usri yusran” dan sesungguhnya bersama kesulitan itu pasti ada kemudahan, bersama kesulitan itu pasti ada kemudahan. Janji yang tak pernah mungkin dipungkiri oleh Allah. Karena itu aku tak boleh mempersulit diri.
4.      NILAI
Nasib baik atau buruk dalam pandanganku mutlak terjadi atas izin Allah dan Allah tak mungkin berbuat sesuatu yang sia-sia.
Ini pasti ada hikmah. Sepahit apapun pasti ada kebaikan yang terkandung di dalamnya bila disikapi dengan sabar dan benar.
Lebih baik aku renungkan kenapa Allah menakdirkan semua ini menimpaku. Bisa jadi sebagai peringatan atas dosa-dosaku, kelalaianku, atau mungkin saat kenaikan kedudukanku di sisi Allah.
Aku mungkin harus berfikir keras untuk menemukan kesalahan yang harus kuperbaiki.
Itibar dari setiap kejadian adalah cermin pribadiku. Aku tak boleh gentar dengan kekurangan dan kesalahan yang terjadi. Yang penting kini aku bertekad sekuat tenaga untuk memperbaikinya. Allah Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat.
5.      AHAD
Aku harus yakin bahwa walaupun bergabung seluruh manusia dan jin untuk menolongku tak mungkin terjadi apapun tanpa izin-Nya.
Hatiku harus bulat total dan yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa hanya Allah-lah satu-satunya yang dapat menolong memberi jalan keluar terbaik dari setiap urusan.
Allah Mahakuasa atas segala-galanya karena itu tiada yang mustahil bila Dia menghendaki. Dialah pemilik dan penguasa segala sesuatu, sehingga tiada yang sanggup menghalangi jika Dia berkehendak menolong hamba-hamba-Nya. Dialah yang mengatur segala sebab datangnya pertolongan-Nya.
Dengan demikian maka aku harus benar-benar berjuang, berikhtiar mendekati-Nya dengan mengamalkan apapun yang disukainya dan melepaskan hati ini dari ketergantungan selain-Nya, karena selain Dia hanyalah sekedar mahluk yang tak berdaya tanpa kekuatan dari-Nya.
"Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya akan diberi jalan keluar dari setiap urusannya dan diberi rizki dari arah yang tak diduga, dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya akan dicukupi segala kebutuhannya." (QS [65] : 2-3)
      
(Sumber : Majalah USWAH EDISI No. 15/1999)

Keluh kesah

Keluh Kesah
K.H. Abdullah Gymnastiar


Hidup di kota besar semacam Jakarta atau Bandung membutuhkan kekuatan iman dan kekuatan mental. Macet di perjalanan dalam waktu-waktu tertentu adalah suatu permasalahan yang kadangkala sering kita hadapi. Tak heran bila untuk sebuah perjalanan, kalau kita tidak memakai strategi yang bagus, tidak memakai perencanaan yang matang, maka kemacetan akan benar-benar mencuri waktu begitu lama. Terkadang bisa berjam-jam di jalan. Kalau saja tidak berusaha untuk bening hati, sepertinya sepanjang jalan yang terjadi hanya dongkol dan marah-marah. "Aduh , kapan sampainya! Aduh, kok ini lama banget! Aduh, kok macet terus!" Mungkin ungkapannya seperti itu. Aduh dan aduh.
Padahal kata-kata aduh, kalau hanya tanda keluh kesah, sebetulnya tidak menyelesaikan masalah. Justru kata-kata yang terlontar itu menunjukkan ketidaksabaran kita. Apalagi tiba-tiba di pinggir jalan ada kendaraan lain berhenti seenaknya. Kita boleh kecewa dan melihat ini sebagai sesuatu yang harus diperbaiki. Tetapi, tidak berarti kita harus sengsara dengan marah-marah atau berkeluh kesah. Mata terbeliak dan mulut kadang berucap "Minggir, dong!" Mungkin inginnya menghardik seperti itu. Tetapi, alangkah lebih baiknya jika kita menyapa dengan kata yang lemah lembut, "Maaf, Pak! Boleh agak ke pinggir sedikit!" Ungkapan seperti ini nampaknya akan lebih ringan ke dalam hati, dari pada melotot dengan menggunakan otot.
Boleh jadi kalau sudah banyak kedongkolan, selain akan banyak berkeluh kesah, juga akan menjadikan diri lebih emosional. Ini yang paling merugikan. Bagi kita maupun orang lain. Kita harus mengukur kehilangan waktu dalam beberapa menit atau beberapa jam, padahal waktu tersebut sebenarnya dapat menjadi tambahan ilmu dan kemampuan diri kita. Ada baiknya, selama perjalanan lengkapi diri dengan sumber-sumber ilmu, baik berupa kaset ceramah, nasyid, atau kaset murotal Qur’an. Sumber-sumber ini akan menambah percepatan keilmuan kita, disamping akan membuat kita tidak tergoda untuk ber-aduh ria. "Aduh, terlambat nih! Aduh, sialan kamu! Aduh, ada yang ketinggalan nih!" Kata-kata seperti ini sebetulnya tidak perlu dikeluarkan! Karena tidak menyelesaikan masalah. Lebih baik kita isi dengan do’a : "Ya Allah, semoga saya datang tepat waktu, semoga ada jalan keluar dari kemacetan ini". Kata-kata ini akan lebih produktif dibandingkan dengan kata "aduh".
Marilah kita meminimalisirkan keluh-kesah seperti ini. Apalagi bagi kita pun ada kenikmatan tersendiri bila kita bicara lebih santun. Kesantunan akan membuat batin kita lebih ringan dari pada berperilaku emosional. Lebih dari itu, kelembutan akan mampu menaklukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan dengan kekerasan. Itu sudah bagian dari rumusnya. Karena, kalau orang-orang keras dilawan dengan kekerasan, maka itu akan merasa bagian dari dunianya. Tapi, kalau orang-orang yang bertemperamen keras itu diberi kelembutan yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam, Isya Allah mereka akan terbawa lembut juga. Contohnya, orang sekeras Umar bin Khattab atau Khalid bin Walid bisa jatuh tersengkur menagis oleh lembutnya alunan Al-Qur’an.
Berkeluh kesah seringkali membuat kita terdramatisasi oleh masalah. Seakan-akan rencana dan keinginan kita lebih baik daripada yang terjadi. Padahal, belum tentu. Siapa tahu, di balik kejadian yang mengecewakan menurut kita, ternyata sarat dengan perlindungan Allah dan sarat dengan terkabulnya harapan-harapan kita. Tiap melakukan kekeliruan, kita ditolong Allah dengan memberikan tuntunan-Nya. Tuntunan itu tidak harus dengan terkabulnya keinginan yang kita mohonkan. Bisa jadi terkabulnya do’a itu bertolak belakang dengan yang kita minta. Karena Allah Mahatahu di balik apapun keinginan kita. Baik keinginan jangka pendek, maupun keinginan jangka panjang. Baik kerugian duniawi maupun kerugian ukhrawi. Baik kerugian secara materi maupun secara kerugian mental. Kita tidak bisa mendeteksi secara cermat. Kadang-kadang kita hanya mendeteksinya sesuai dengan keperluan hawa nafsu kita.
Kelihatannya sepele mengaduh ini. Tetapi, itu akan menjadi kualifikasi pengendalian diri kita. Ketahuilah bahwa kualitas seseorang itu tidak diukur dengan sesuatu yang besar-besar, tetapi oleh yang kecil-kecil. Kalau kita ingin melihat kompleks perumahan yang berkualitas, maka kita lihat saja panjang pendek rumput di halamannya. Kalau berkualitas dan terawat dengan baik, maka rumputnya pun akan nampak terawat dengan baik. Marilah kita respon setiap kejadian demi kejadian dengan respon lisan yang positif. Mengapa? Karena setiap respon akan mempengaruhi persepsi kita terhadap masalah yang kita hadapi dan cara kita menyelesaikannya. Lebih dari itu akan berdampak pula kepada orang-orang di sekitar kita. Jadi, sapaan-sapaan, teguran-teguran, komentar-komentar, celetukan-celetukan ini harus benar-benar bernilai produktif. Tidak hanya berarti bagi diri kita, tetapi juga bagi orang di sekitar kita.
Apalagi keluh kesah termasuk penyakit hati, yaitu bentuk ketidaksabaran kita dalam menerima ketentuan dari Allah. Ada hadits qudsi yang menyatakan bahwa "Barang siapa yang tidak ridha terhadap ketentuan-Ku, dan tidak sabar atas musibah dari-Ku, maka carilah Tuhan selain Aku." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadits qudsi ini, nampaklah bahwa segala apapun yang Allah karuniakan kepada kita, maka kita harus menerimanya dengan ridha. Oleh karenanya, kita tidak perlu banyak mengaduh atau berkeluh kesah. Sedapat mungkin kurangi aduh-mengaduh ini. Jauh akan lebih produktif jikalau kita optimalkan waktu dengan banyak berdo’a dan menambah kualitas keilmuan diri serta terus menyempurnakan ikhtiar di jalan Allah yang diridhai.***

Kunci hidup sukses

Kunci Hidup Sukses
K.H. Abdullah Gymnastiar


"Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu..." (Q. S Ali Imran (3) : 160)
Bagaimana kita memahami pengertian hidup sukses? Dari mana harus memulainya ketika kita ingin segera diperjuangkan? Tampaknya tidak terlalu salah bila ada orang yang telah berhasil menempuh jenjang pendidikan tinggi, bahkan lulusan luar negeri, lalu menganggap dirinya orang sukses. Mungkin juga seseorang yang gagal dalam menempuh jalur pendidikan formal belasan tahun lalu, tetapi saat ini berani menepuk dada karena yakin bahwa dirinya telah mencapai sukses. Mengapa demikian? Karena, ia telah memilih dunia wirausaha, lalu berusaha keras tanpa mengenal lelah, sehingga mewujudlah segala buah jerih payahnya itu dalam belasan perusahaan besar yang menguntungkan.
Seorang ayah dihari tuanya tersenyum puas karena telah berhasil mengayuh bahtera rumah tangga yang tentram dan bahagia, sementara anak anaknya telah ia antar ke gerbang cakrawala keberhasilan hidup yang mandiri. Seorang kiai atau mubaligh juga berusaha mensyukuri kesuksesan hidupnya ketika jutaan umat telah menjadi jamaahnya yang setia dan telah menjadikannya sebagai panutan, sementara pesantrennya selalu dipenuh sesaki ribuan santri. Pendek kata, adalah hak setiap orang untuk menentukan sendiri dari sudut pandang mana ia melihat kesuksesan hidup. Akan tetapi, dari sudut pandang manakah seyogyanya seorang muslim dapat menilik dirinya sebagai orang yang telah meraih hidup sukses dalam urusan dunianya?
Membangun Fondasi
Kalau kita hendak membangun rumah, maka yang perlu terlebih dahulu dibuat dan diperkokoh adalah fondasinya. Karena, fondasi yang tidak kuat sudah dapat dipastikan akan membuat bangunan cepat ambruk kendati dinding dan atapnya dibuat sekuat dan sebagus apapun. Sering terjadi menimpa sebuah perusahaan, misalnya yang asalnya memiliki kinerja yang baik, sehingga maju pesat, tetapi ternyata ditengah jalan rontok. Padahal, perusahaan tersebut tinggal satu dua langkah lagi menjelang sukses. Mengapa bisa demikian? ternyata faktor penyebabnya adalah karena didalamnya merajalela ketidakjujuran, penipuan, intrik dan aneka kezhaliman lainnya.
Tak jarang pula terjadi sebuah keluarga tampak berhasil membina rumah tangga dan berkecukupan dalam hal materi. Sang suami sukses meniti karir dikantornya, sang isteri pandai bergaul ditengah masyarakat, sementara anak-anaknya pun berhasil menempuh jenjang studi hingga ke perguruan tinggi, bahkan yang sudah bekerjapun beroleh posisi yang bagus. Namun apa yang terjadi kemudian?
Suatu ketika hancurlah keutuhan rumah tangganya itu karena beberapa faktor yang mungkin mental mereka tidak sempat dipersiapkan sejak sebelumnya untuk menghadapinya. Suami menjadi lupa diri karena harta, gelar, pangkat dan kedudukannya, sehingga tergelincir mengabaikan kesetiaannya kepada keluarga. Isteripun menjadi lupa akan posisinya sendiri, terjebak dalam prasangka, mudah iri terhadap sesamanya dan bahkan menjadi pendorong suami dalam berbagai perilaku licik dan curang. Anak-anakpun tidak lagi menemukan ketenangan karena sehari-hari menonton keteladanan yang buruk dan menyantap harta yang tidak berkah.

Lalu apa yang harus kita lakukan untuk merintis sesuatu secara baik? Alangkah indah dan mengesankan kalau kita meyakini satu hal, bahwa tiada kesuksesan yang sesungguhnya, kecuali kalau Allah Azza wa Jalla menolong segala urusan kita. Dengan kata lain apabila kita merindukan dapat meraih tangga kesuksesan, maka segala aspek yang berkaitan dengan dimensi sukses itu sendiri harus disandarkan pada satu prinsip, yakni sukses dengan dan karena pertolongan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan fondasi yang tidak bisa tidak harus diperkokoh sebelum kita membangun dan menegakkan mernara gading kesuksesan.
Sunnatullah dan Inayatullah
Terjadinya sesoang bisa mencapai sukses atau terhindar dari sesuatu yang tidak diharapkannya, ternyata amat bergantung pada dua hal yakni sunnatullah dan inayatullah. Sunatullah artinya sunnah-sunnah Allah yang mewujud berupa hukum alam yang terjadinya menghendaki proses sebab akibat, sehingga membuka peluang bagi perekayasaan oleh perbuatan manusia. Seorang mahasiswa ingin menyelesaikan studinya tepat waktu dan dengan predikat memuaskan. Keinginan itu bisa tercapai apabila ia bertekad untuk bersungguh-sungguh dalam belajarnya, mempersiapkan fisik dan pikirannya dengan sebaik-baiknya, lalu meningkatkan kuantitas dan kualitas belajarnya sedemikian rupa, sehingga melebihi kadar dan cara belajar yang dilakukan rekan-rekannya. Dalam konteks sunnatullah, sangat mungkin ia bisa meraih apa yang dicita-citakannya itu.
Akan tetapi, ada bis yang terjatuh ke jurang dan menewaskan seluruh penumpangnya, tetapi seorang bayi selamat tanpa sedikitpun terluka. Seorang anak kecil yang terjatuh dari gedung lantai ketujuh ternyata tidak apa-apa, padahal secara logika terjatuh dari lantai dua saja ia bisa tewas. Sebaliknya, mahasiswa yang telah bersungguh-sungguh berikhtiar tadi, bisa saja gagal total hanya karena Allah menakdirkan ia sakit parah menjelang masa ujian akhir studinya, misalnya. Segala yang mustahil menurut akal manusia sama sekali tidak ada yang mustahil bila inayatullah atau pertolongan Allah telah turun.

Demikian pula kalau kita berbisnis hanya mengandalkan ikhtiar akal dan kemampuan saja, maka sangat mungkin akan beroleh sukses karena toh telah menetapi prasyarat sunnatullah. Akan tetapi, bukankah rencana manusia tidak mesti selalu sama dengan rencana Allah. Dan adakah manusia yang mengetahui persis apa yang menjadi rencana Nya atas manusia? Boleh saja kita berjuang habis-habisan karena dengan begitu orang kafirpun toh beroleh kesuksesan. Akan tetapi, kalau ternyata Dia menghendaki lain lantas kita mau apa? mau kecewa? kecewa sama sekali tidak mengubah apapun. Lagipula, kecewa yang timbul dihati tiada lain karena kita amat menginginkan rencana Allah itu selalu sama dengan rencana kita. Padahal Dialah penentu segala kejadian karena hanya Dia yang Maha Mengetahui hikmah dibalik segala kejadian.
Rekayasa Diri
Apa kuncinya? Kuncinya adalah kalau kita menginginkan hidup sukses di dunia, maka janganlah hanya sibuk merekayasa diri dan keadaan dalam rangka ikhtiar dhahir semata, tetapi juga rekayasalah diri kita supaya menjadi orang yang layak ditolong oleh Allah. Ikhtiar dhahir akan menghadapkan kita pada dua pilihan, yakni tercapainya apa yang kita dambakan - karena faktor sunnatullah tadi - namun juga tidak mustahil akan berujung pada kegagalan kalau Allah menghendaki lain.
Lain halnya kalau ikhtiar dhahir itu diseiringkan dengan ikhtiar bathin.

Mengawalinya dengan dasar niat yang benar dan ikhlas semata mata demi ibadah kepada Allah. Berikhtiar dengan cara yang benar, kesungguhan yang tinggi, ilmu yang tepat sesuai yang diperlukan, jujur, lurus, tidak suka menganiaya orang lain dan tidak mudah berputus asa. Senantiasa menggantungkan harap hanya kepada Nya semata, seraya menepis sama sekali dari berharap kepada makhluk. Memohon dengan segenap hati kepada Nya agar bisa sekiranya apa-apa yang tengah diikhtiarkan itu bisa membawa maslahat bagi dirinya mapun bagi orang lain, kiranya Dia berkenan menolong memudahkan segala urusan kita. Dan tidak lupa menyerahkan sepenuhnya segala hasil akhir kepada Dia Dzat Maha Penentu segala kejadian. Bila Allah sudah menolong, maka siapa yang bisa menghalangi pertolongan-Nya? Walaupun bergabung jin dan manusia untuk menghalangi pertolongan yang diturunkan Allah atas seorang hamba Nya sekali-kali tidak akan pernah terhalang karena Dia memang berkewajiban menolong hamba-hambaNya yang beriman.
"Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu. Jika Allah membiarkan kamu
(tidak memberikan pertolongan) maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal"
(QS Ali Imran (3) : 160).

Zuhud

Zuhud
K.H. Abdullah Gymnastiar

Ada empat tipe manusia berkaitan dengan harta dan gaya hidupnya :
Pertama, orang berharta dan memperlihatkan hartanya. Orang seperti ini biasanya mewah gaya hidupnya, untung perilakunya ini masih sesuai dengan penghasilannya, sehingga secara finansial sebenarnya tidak terlalu bermasalah. Hanya saja, ia akan menjadi hina kalau bersikap sombong dan merendahkan orang lain yang dianggap tak selevel dengan dia. Apalagi kalau bersikap kikir dan tidak mau membayar zakat atau mengeluarkan sedekah. Sebaliknya, ia akan terangkat kemuliaannya dengan kekayaannya itu jikalau ia rendah hati dan dermawan.
Kedua, orang yang tidak berharta banyak, tapi ingin kelihatan berharta. Gaya hidup mewahnya sebenarnya diluar kemampuannya, hal ini karena ia ingin selalu tampil lebih daripada kenyataan. Tidaklah aneh bila keadaan finansialnya lebih besar pasak daripada tiang. Nampaknya, orang seperti ini benar-benar tahu seni menyiksa diri. Hidupnya amat menderita, dan sudah barang tentu ia menjadi hina dan bahkan menjadi bahan tertawaan orang lain yang mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Ketiga, orang tak berharta tapi berhasil hidup bersahaja. Orang seperti ini tidak terlalu pening dalam menjalani hidup karena tak tersiksa oleh keinginan, tak ruwet oleh pujian dan penilaian orang lain, kebutuhan hidupnya pun sederhana saja. Dia akan hina kalau menjadi beban dengan menjadi peminta-minta yang tidak tahu diri. Namun tetap juga berpeluang menjadi mulia jikalau sangat menjaga kehormatan dirinya dengan tidak menunjukan berharap dikasihani, tak menunjukan kemiskinannya, tegar, dan memiliki harga diri.
Keempat, orang yang berharta tapi hidup bersahaja. Inilah orang yang mulia dan memiliki keutamaan. Dia mampu membeli apapun yang dia inginkan namun berhasil menahan dirinya untuk hidup seperlunya. Dampaknya, hidupnya tidak berbiaya tinggi, tidak menjadi bahan iri dengki orang lain, dan tertutup peluang menjadi sombong, serta takabur plus riya. Dan yang lebih menawan akan menjadi contoh kebaikan yang tidak habis-habisnya untuk menjadi bahan pembicaraan. Memang aneh tapi nyata jika orang yang berkecukupan harta tapi mampu hidup bersahaja (tentu tanpa kikir). Sungguh ia akan punya pesona kemuliaan tersendiri. Pribadinya yang lebih kaya dan lebih berharga dibanding seluruh harta yang dimilikinya, subhanallaah.
***
Perlu kita pahami bahwa zuhud terhadap dunia bukan berarti tidak mempunyai hal-hal yang bersifat duniawi, semacam harta benda dan kekayaan lainnya, melainkan kita lebih yakin dengan apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tangan makhluk. Bagi orang yang zuhud terhadap dunia, sebanyak apapun harta yang dimiliki, sama sekali tidak akan membuat hatinya merasa tenteram, karena ketenteraman yang hakiki adalah ketika kita yakin dengan janji dan jaminan Allah.
Andaikata kita merasa lebih tenteram dengan sejumlah tabungan di bank, saham di sejumlah perusahaan ternama, real estate investasi di sejumlah kompleks perumahan mewah, atau sejumlah perusahaan multi nasional yang dimiliki, maka ini berarti kita belum zuhud. Seberapa besar pun uang tabungan kita, seberapa banyak saham pun yang dimiliki, sebanyak apapun asset yang dikuasai, seharusnya kita tidak lebih merasa tenteram dengan jaminan mereka atau siapapun. Karena, semua itu tidak akan datang kepada kita, kecuali ijin Allah. Dia-lah Maha Pemilik apapun yang ada di dunia ini.
Begitulah. Orang yang zuhud terhadap dunia melihat apapun yang dimilikinya tidak mejadi jaminan. Ia lebih suka dengan jaminan Allah karena walaupun tidak tampak dan tidak tertulis, tetapi Dia Mahatahu akan segala kebutuhan kita, dan bahkan, lebih tahu dari kita sendiri.
Ada dan tiadanya dunia di sisi kita hendaknya jangan sampai menggoyahkan batin. Karenanya, mulailah melihat dunia ini dengan sangat biasa-biasa saja. Adanya tidak membuat bangga, tiadanya tidak membuat sengsara. Seperti halnya seorang tukang parkir. Ya tukang parkir. Ada hal yang menarik untuk diperhatikan sebagai perumpamaan dari tukang parkir. Mengapa mereka tidak menjadi sombong padahal begitu banyak dan beraneka ragam jenis mobil yang ada di pelataran parkirnya? Bahkan, walaupun berganti-ganti setiap saat dengan yang lebih bagus ataupun dengan yang lebih sederhana sekalipun, tidak mempengaruhi kepribadiannya!? Dia senantiasa bersikap biasa-biasa saja.
Luar biasa tukang parkir ini. Jarang ada tukang parkir yang petantang petenteng memamerkan mobil-mobil yang ada di lahan parkirnya. Lain waktu, ketika mobil-mobil itu satu persatu meninggalkan lahan parkirnya, bahkan sampai kosong ludes sama sekali, tidak menjadikan ia stress. Kenapa sampai demikian? Tiada lain, karena tukang parkir ini tidak merasa memiliki, melainkan merasa dititipi. Ini rumusnya.
Seharusnya begitulah sikap kita akan dunia ini. Punya harta melimpah, deposito jutaan rupiah, mobil keluaran terbaru paling mewah, tidak menjadi sombong sikap kita karenanya. Begitu juga sebaliknya, ketika harta diambil, jabatan dicopot, mobil dicuri, tidak menjadi stress dan putus asa. Semuanya biasa-biasa saja. Bukankah semuanya hanya titipan saja? Suka-suka yang menitipkan, mau diambil sampai habis tandas sekalipun, silahkan saja, persoalannya kita hanya dititipi.
Rasulullah SAW dalam hal ini bersabda, "Melakukan zuhud dalam kehidupan dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan bukan pula dengan memboroskan kekayaan. Zuhud terhadap kehidupan dunia itu ialah tidak menganggap apa yang ada pada dirimu lebih pasti daripada apa yang ada pada Allah. Dan hendaknya engkau bergembira memperoleh pahala musibah yang sedang menimpamu walaupun musibah itu akan tetap menimpamu." (HR. Ahmad).***

Kewirausahaan

Kewirausahan
K.H. Abdullah Gymnastiar

Hal yang sangat patut direnungkan oleh umat Islam, dan ini menjadi kendala bagi kemajuan umat adalah faktor leadership (kepemimpinan) dan kemampuan manajemen. Dampaknya pun jelas, dengan dua titik lemah ini potensi yang banyak tidak terbaca, tidak tergali secara maksimal, dan tidak bisa dikembangkan menjadi sebuah sinergi yang memiliki dampak besar bagi kemajuan umat.
Kelemahan leadership dan manajerial ini ternyata dapat kita telusuri dengan mengamati bagaimana pemahaman umat tentang sifat Rasulullah SAW. Diantara titik-titik yang kurang tersentuh secara maksimal adalah bagaimana umat Islam mempelajari masa muda Rasulullah SAW sebelum menjadi nabi.
Dari beberapa literatur yang didapat, betapa jiwa entrepreneurship Rasulullah di bidang wirausaha begitu mendominasi, sehingga beliau berkembang menjadi seorang pemimpin yang memiliki jiwa entrepreneur, dan keterampilan manajemen yang baik untuk mengelola sebuah dakwah, sebuah sistem yang bertata nilai kemuliaan Al Islam.
Pada waktu Rasulullah masih kecil, beliau sudah mempunyai sebuah proyek untuk menjaga kehormatan harga dirinya agar tidak menjadi beban bagi kehidupan ekonomi pamannya, Abu Thalib, yang memang tidak tergolong kaya. Beliau mendapat upah dari menggembalakan beberapa ekor kambing miliki orang lain, yang secara otomatis mengurangi biaya hidup yang harus ditanggung oleh pamannya ini.
Pada usia 12 tahuan, sebuah usia yang relatif muda, beliau melakukan perjalanan dagang ke Syiria bersama Abu Thalib. Beliau tumbuh dewasa di bawah asuhan pamannya ini dan belajar mengenai bisnis perdagangan darinya. Bahkan ketika menjelang dewasa dan menyadari bahwa pamannya bukanlah orang berada serta memiliki keluarga besar yang harus diberi nafkah, Rasulullah mulai berdagang sendiri di kota Mekkah.
Bisnisnya diawalai dengan sebuah perdagangan taraf kecil dan pribadi, yaitu dengan membeli barang dari satu pasar dan menjualnya kepada orang lain. Aktivitas bisnis lainnya dengan sejumlah orang di kota Mekkah pun dilakukan. Dengan demikian ternyata Rasulullah telah melakukan aktivitas bisnis jauh sebelum beliau bermitra dengan Khadijah. Dan inilah yang membuahkan pengalaman yang tak ternilai harganya dalam mengembangkan jiwa kewirausahaan pada diri Rasulullah.
Ciri yang sangat khas dari aktivitas bisnis yang dilakukan oleh Rasulullah waktu itu adalah beliau sangat terkenal karena kejujurannya dan sangat amanah dalam memegang janji. Sehingga tidak ada satupun orang yang berinteraksi dengan beliau kecuali mndapat kepuasan yang luar biasa. Dan ini merupakan sebuah nuansa dengan pesona tersendiri bagi warga Jazirah Arab. apalagi kemuliaan akhlaknya seakan menebarkan pesona indah kepribadiannya.
Pun ketika beliau tidak memiliki uang untuk berbisnis sendiri, ternyata beliau banyak menerima modal dari orang-orang kaya Mekkah yang tidak sanggup menjalankan sendiri dana mereka, dan menyambut baik seseorang yang jujur untuk menjalankan bisnis dengan uang yang mereka miliki berdasarkan kerjasama. Tiada lain karena sejak kecil Rasulullah telah dikenal oleh penduduk Mekkah sangat rajin dan penuh percaya diri. Dikenal pula oleh kejujuran dan integritasnya dibidang apapun yang dilakukannya. Tak berlebihan bila penduduk Mekkah memanggilnya dengan sebutan Shiddiq (jujur) dan Amin (terpercaya).
Salah seorang pemiliki modal itu adalah Khadijah, yang kelak menjadi istri beliau, yang menawarkan suatu kemitraan berdasarkan sistem bagi hasil (profit sharing). Dan, subhanallaah, kecakapan Rasulullah dalam berbisnis telah mendatangkan keuntungan, dan tidak satupun jenis bisnis yang ditanganinya mendapat kerugian. Selama bermita dengan Khadijah inilah Rasulullah telah melakukan perjalanan dagang ke pusat bisnis di Habasyah (Ethiopia) dan Yaman. Beliau pun empat kali memimpin ekspedisi perdagangan untuk Khadijah ke Syria dan Jorash.
Diantara hal yang terus menerus harus kita teladani dari Rasulullah dalam interaksi bisnisnya adalah beliau sangat menjaga nilai-nilai harga diri, kehormatan, dan kemuliannya dalam proses interaksi bisnisnya ini. Bisnis bagi Rasulullah SAW tidak hanya sebatas perputaran uang dan barang, tapi ada yang lebih tinggi dari semua itu, yaitu mejaga kehormatan diri. Sehingga keuntungan apapun dari setiap transaksi yang beliau dapatkan, maka kemuliaannya justru semakin menjulang tinggi. Semakin dihormati, semakin disegani dan ini menjadi aset tak ternilai harganya yang mendatangkan kepercayaan dari para pemilik modal.
Dengan kata lain, modal terbesar dari seorang yang menjadi pengusaha sukses, pemimpin sukses, atau ilmuwan sukses dalam disiplin ilmu apapun, ternyata jiwa entrepreneur ini harus dikembangkan sejak awal. Pembangunan harga diri, pembangunan etos kerja, pembangunan karir kehormatan sebagai seorang jujur yang terbukti teruji dan sangat amanah terhadap janji-janji, jikalau hal ini ditanamkan, dilatih sejak awal maka akan membuahkan kepribadian yang sangat bermutu tinggi dan ini menjadi bekal kesuksesan bekerja dimanapun atau kesuksesan mengemban amanah jenis apapun.
Dan yang paling perlu digaris bawahi, Rasulullah SAW mengadakan transaksi bisnis sama sekali tidak untuk memupuk kekayaan pribadi, tetapi justru untuk membangun kehormatan dan kemuliaan bisnisnya dengan etika yang tinggi dan hasil yang didapat justru untuk didistribusikan ke sebanyak umat. Sehingga kesuksesannya mampu membawa banyak dampak positif, yaitu kesuksesan dan kesejahteraan bagi umat yang lainnya. Dan inilah yang menyebabkan kepribadian junjungan kita, Rasullah SAW begitu monumenatal, baik dalam mencari nafkah maupun dalam menafkahkan karunia rizki yang diperolehnya.
Semoga kita semua mampu merenungi kejujuran diri, amanah, dan kegigihan dalam menjaga kehormatan harga diri kita selaku umat Islam.***

Diam itu emas

Diam Itu Emas
K.H. Abdullah Gymnastiar

Dalam upaya mendewasakan diri kita, salah satu langkah awal yang harus kita pelajari adalah bagaimana menjadi pribadi yang berkemampuan dalam menjaga juga memelihara lisan dengan baik dan benar. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw, "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata benar atau diam.", hadits diriwayatkan oleh Bukhari.
1. Jenis-jenis Diam
Sesungguhnya diam itu sangat bermacam-macam penyebab dan dampaknya. Ada yang dengan diam jadi emas, tapi ada pula dengan diam malah menjadi masalah. Semuanya bergantung kepada niat, cara, situasi, juga kondisi pada diri dan lingkungannya. Berikut ini bisa kita lihat jenis-jenis diam:
a. Diam Bodoh
Yaitu diam karena memang tidak tahu apa yang harus dikatakan. Hal ini bisa karena kekurangan ilmu pengetahuan dan ketidakmengertiannya, atau kelemahan pemahaman dan alasan ketidakmampuan lainnya. Namun diam ini jauh lebih baik dan aman daripada memaksakan diri bicara sok tahu.
b. Diam Malas
Diam jenis merupakan keburukan, karena diam pada saat orang memerlukan perkataannya, dia enggan berbicara karena merasa sedang tidak mood, tidak berselera atau malas.
c. Diam Sombong
Ini pun termasuk diam negatif karena dia bersikap diam berdasarkan anggapan bahwa orang yang diajak bicara tidak selevel dengannya.
d. Diam Khianat
Ini diamnya orang jahat karena dia diam untuk mencelakakan orang lain. Diam pada saat dibutuhkan kesaksian yang menyelamatkan adalah diam yang keji.
e. Diam Marah
Diam seperti ini ada baiknya dan adapula buruknya, baiknya adalah jah lebih terpelihara dari perkataan keji yang akan lebih memperkeruh suasana. Namun, buruknya adalah dia berniat bukan untuk mencari solusi tapi untuk memperlihatkan kemurkaannya, sehingga boleh jadi diamnya ini juga menambah masalah.
f. Diam Utama (Diam Aktif)
Yang dimaksud diam keutamaan adalah bersikap diam hasil dari pemikiran dan perenungan niat yang membuahkan keyakinan bahwa engan bersikap menahan diri (diam) maka akan menjadi maslahat lebih besardibanding dengan berbicara.
2. Keutaam Diam Aktif
a. Hemat MasalahDengan memilih diam aktif, kita akan menghemat kata-kata yang berpeluang menimbulkan masalah.
b. Hemat dari DosaDengan diam aktif maka peluang tergelincir kata menjadi dosapun menipis, terhindar dari kesalahan kata yang menimbulkan kemurkaan Allah.
c. Hati Selalu Terjaga dan TenangDengan diam aktif berarti hati akan terjaga dari riya, ujub, takabbur atau aneka penyakit hati lainnya yang akan mengeraskan dan mematikan hati kita.
d. Lebih BijakDengan diam aktif berarti kita menjadi pesdengar dan pemerhati yang baik, diharapkan dalam menghadapi sesuatu persoalan, pemahamannya jauh lebih mendaam sehingga pengambilan keputusan pun jauh lebih bijak dan arif.
e. Hikmah Akan MunculYang tak kalah pentingnya, orang yang mampu menahan diri dengan diam aktif adalah bercahayanya qolbu, memberikan ide dan gagasan yang cemerlang, hikmah tuntunan dari Allah swtakan menyelimuti hati, lisan, serta sikap dan perilakunya.
f. Lebih BerwibawaTanpa disadari, sikap dan penampilan orang yang diam aktif akan menimbulkan wibawa tersendiri. Orang akan menjadi lebih segan untuk mempermainkan atau meremehkan.
Selain itu, diam aktif merupakan upaya menahan diri dari beberapa hal, seperti:
  1. Diam dari perkataan dusta
  2. Diamdari perkataan sia-sia
  3. Diam dari komentar spontan dan celetukan
  4. Diam dari kata yang berlebihan
  5. Diam dari keluh kesah
  6. Diam dari niat riya dan ujub
  7. Diam dari kata yang menyakiti
  8. Diam dari sok tahu dan sok pintar
Mudah-mudahan kita menjadi terbiasa berkata benar atau diam. Semoga pula Allah ridha hingga akhir hayat nanti, saat ajal menjemput, lisan ini diperkenankan untuk mengantar kepergian ruh kita dengan sebaik-baik perkataan yaitu kalimat tauhiid "laa ilaha illallah" puncak perkataan yang menghantarkan ke surga.

Manajemen Qalbu

Manajemen Qalbu
K.H. Abdullah Gymnastiar


Apa itu MQ? Sebenarnya tidak ada perbedaan antara MQ dengan metode dakwah Islam lainnya. di dalamnya pun tidak ada yang baru, semuanya merupakan penjabaran ajaran Islam. Hanya pembahasannya lebih diperdalam, dibeberkan dengan cara yang aktual, dengan inovasi dan kreativitas dakwah yang lebih sesuai dengan kebutuhan zaman. Inti pembelajarannya sendiri ada pada qolbu.
Di dalam tubuh ini ada akal, jasad, dan qolbu. Akal membuat orang bisa bertindak lebih efektif dan efisien dalam melakukan apa yang ia inginkan. Sedangkan tubuh bertugas melakukan apa yang diperintahkan oleh akal. Sebagai contoh, apabila akal menginginkan tubuh mampu berkelahi, maka tubuh akan berlatih agar menjadi kuat. Sayangnya, tidak sedikit orang yang cerdas, orang yang begitu gagah perkasa, tapi tidak menjadi mulia, bahkan sebagian diantaranya membuat kehinaan karena berbuat jahat. Mengapa? Sebab ada satu yang membimbing akal dan tubuh yang belum diefektifkan, itulah qolbu.
Kita ambil contoh lain, sebuah mikrofon bisa menjadi alat provokasi kejahatan, bisa juga jadi alat dakwah dan menyampaikan ilmu, sebuah mikrofon bisa juga menjadi alat bantu berbicara sehingga menjadi fasih, itulah fungsi mikrofon. Artinya, yang menentukan isi dari bahasa yang keluar darinya adalah qolbu. Dalam hal ini Rasulullah SAW menyebutkan bahwa di dalam tubuh ini ada segumpal daging yang jika ia baik maka baik pula yang lainnya, sebaliknya yang apabila ia jelek maka jeleklah semuanya. Dan yang dimaksud daging itu ialah Qolbu.
Jadi, yang terpenting dari manusia ternyata bukan kecerdasannya saja, tapi yang membimbing cerdasnya otak menjadi benar, yang membimbing kuatnya fisik menjadi benar. Disitulah fungsi qolbu. Oleh karenanya, menjadi cerdas belum tentu mulia, kecuali kecerdasannya dipakai untuk berbuat kebenaran. Menjadi kuat belum tentu mulia, kecuali kekuatannya di jalan yang benar.
Di dalam qolbu ini ada yang disebut potensi, faalhamahaa fujuu rahaa wa taqwaaha (QS. Asy Syams [91] : 8), "Dan diilhamkan kepadanya yang salah dan yang taqwa (benar)". Begitulah, qolbu ini punya potensi negatif dan potensi positif. Allah telah menyiapkan keduanya dengan adil. Dan disinilah pentingnya fungsi manajemen. Manajemen secara sederhana berarti pengelolaan dan pentadhiran. Sebuah sistem dengan manajemen yang baik, dengan pengelolaan yang baik, sekecil apapun potensi yang dimiliki, Insya Allah akan membuahkan hasil yang optimal.
Negara Singapura, misalnya, tidak punya Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, bahkan untuk mencukupi kebutuhan air minumnya saja, Singapura harus mengimpornya dari Johor, Malaysia. disisi lain ternyata mereka berhasil mengelola Sumber Daya Manusia (SDM)-nya, sehingga walaupun SDA-nya minim, tapi SDM-nya mampu diberdayakan secara optimal. Hasilnya, kini Singapura menjadi jauh lebih makmur daripada Indonesia yang alamnya sangat kaya raya. Mengapa? Ya, itu tadi, karena bangsa kita lemah dalam manajemennya.
Dapat dipahami pula bahwa kita tidak berakhlak mulia bukan karena tidak punya potensi, tapi karena manajemen diri kita yang masih buruk. Sungguh kita mampu mengelola otak kita menjadi cerdas, membaca dengan kecepatan 400 kpm, memiliki daya ingat yang kuat, yakinlah itu bisa dilakukan. Kita bisa kelola fisik sehingga mampu melakukan sebuah gerakan bela diri demikian sempurna, pukulannya demikian akurat, tapi itu tidak cukup kalau hatinya tidak dikelola dengan baik. Karena semua itu tidak akan memiliki nilai positif jika hatinya tidak dikelola dengan baik. Begitulah. Hati menentukan nilai; mulia atau hina. Jangan aneh bila ada orang cerdas, tapi tidak mulia hidupnya. Bukan karena kurang cerdas, tapi kecerdasannya tidak dibimbing oleh hatinya.
Oleh karena itulah, orang yang pandai mengelola hatinya, ketika tiba-tiba, misalnya, dihina orang, dia akan kelola penghinaan ini menjadi sesuatu yang mamfaat, "Ah, dia memang menghina, namun siapa tahu penghinaan ini bagian dari karunia Allah untuk memberitahu kekurangan saya, selain itu saya pun bisa melatih kesabaran, bedanya khan dia baru bisa menghina, saya bisa mengatakan yang baik kepadanya." Begitulah, sikap terhadap hinaan ternyata bergantung manajemen qolbunya. Saat lain ia diuji sedang sakit, lalu qolbunya kembali ia kelola dengan seoptimal-optimalnya. "Sakit bagi saya adalah proses evaluasi diri, proses pengguguran dosa", demikianlah ia pahamkan dihatinya tentang makna sakit. Akibatnya, sakit menjadi tidak menyengsarakan, melainkan penuh hikmah yang mendalam, karena dia berhasil mengelola hatinya.
Lelah, tersinggung, terhina, kekurangan uang, tertimpa penyakit, dan masih begitu banyak lagi masalah yang akan membuat orang menjadi goyah, tapi kalau terkelola hatinya, subhanallaah, ia akan tetap punya nilai produktif. Anehnya, banyak orang yang sangat sibuk memikirikan kecerdasannya, memikirkan kesehatan fisiknya, tapi sangat sedikit memikirkan kondisi hatinya. Kalaulah kita harus memilih, seharusnya kita banyak meluangkan waktu untuk memikirkan tentang qolbu ini. Karena jika qolbu ini baik, yang lainnya pun menjadi baik, Insya Allah.***
 

Blogger news

Blogroll